Selasa, 29 November 2011

Antara Cinta Dan Dosa

Sore itu selepas pulang kantor, Dony nampaknya seperti linglung. Rupanya ia sedang kesal atas sikap rekan sekerjanya tadi ketika meeting dengan dewan direksi membahas program yang ia ajukan.Pada saat tanya jawab, salah seorang manager dari bagian keuangan yang bernama Ratna mengajukan berbagai pertanyaan yang menyudutkan dan cenderung menjegal semua ide-idenya. Dony menganggap semua itu sama sekali tidak relevan dengan apa yang ia presentasikan. Ia heran kenapa wanita itu selalu saja beroposisi dengannya dan selalu mempersulit setiap urusan yang ada kaitannya dengan unit kerja wanita itu.

Dony sendiri tak tahu kenapa sebabnya ia bersikap seperti itu padanya. Ia mengira-ngira apakah ini karena ia tak pernah begitu memperhatikannya padahal lelaki-lelaki lain di kantorku berlomba-lomba untuk menarik perhatian wanita yang selalu berpenampilan trendy dan menjurus seksi ini. Dony pun tak memungkiri bahwa Ratna merupakan wanita yang menarik, cantik dan pintar.
Awalnya Dony tertarik juga kepadanya namun setelah melihat orangnya agak sombong dan meremehkan lelaki-lelaki yang mencoba mendekatinya, ia jadi kurang respek hingga akhirnya lebih banyak menghindar darinya.
Pikiran Dony masih tak karuan, matanya menatap kosong ke arah jalanan dari balik kaca mobilnya. Ia bingung sendiri. Mobilnya meluncur dengan kecepatan sedang tanpa arah. Jalanan yang biasa ia lalui menuju rumah telah kelewatan sejak tadi. Pulang ke rumah juga mau ngapain, pikir Dony. Anak dan istri lagi pulang kampung selama liburan sekolah ini. Katanya ingin berlibur di rumah kakek dan neneknya.
Tiba-tiba Dony membelokkan mobinya ke arah suatu tempat yang nampaknya seperti sebuah hotel. Nampak di pelataran parkir berjejer mobil-mobil mewah. Dony segera memarkirkan mobilnya di sana lalu turun dan berjalan ke sebuah bar yang terletak di samping lobby hotel itu. Ia langsung masuk.
Terdengar suara hingar bingar musik yang memekakan telinga begitu pintu terbuka. Dony berjalan tanpa melirik ke kiri kanan dan langsung duduk di sebuah kursi bar.
“Gin tonic in the rock,” pintanya tanpa pikir panjang kepada bartender.
Ia sendiri sebenarnya kaget juga mendengar ucapan dari mulutnya, padahal sudah bertahun-tahun sejak sebelum menikah ia tak pernah lagi menyentuh minuman beralkohol. Tetapi kenapa tiba-tiba ia memesan minuman seperti itu?
“Malam Boss,” sapa bartender itu dengan ramah sambil menyodorkan minuman pesanannya.
“Malam,” balas Dony seraya meraih gelas dan langsung menenggaknya sampai habis lalu menyodorkan lagi kepada bartender untuk minta tambah.
Bartender itu tersenyum melihat tingkah Dony. Rupanya ia sudah terbiasa melihat tingkah orang-orang seperti Dony ini di barnya.
“Suntuk kayaknya malem ini ya Boss,” katanya mencoba untuk mengajak ngobrol, sesuai dengan tugasnya sebagai bartender yang umumnya merupakan tempat untuk curhat bagi tamu-tamu bar.
“Yaaaahhhh.., gua lagi empet nich. Dari pada pusing lebih baik happy-happy aja dech,” jawab Dony kembali meneguk gelas kedua. Kali ini minuman itu masih bersisa sedikit. Mukanya nampak mulai memerah, minuman beralkohol itu begitu cepat mempengaruhi kesadarannya.
Dony kembali ngobrol dengan bartender itu. Meskipun ucapan-ucapannya sudah ngaco, tetapi bartender itu masih tetap meladeninya dengan baik dan menambah kembali minuman di gelas Dony. Tanpa terasa telah 4 gelas diteguknya.
Obrolan mereka nampaknya semakin menghangat, terdengar gelak tawa mereka berkali-kali sehingga menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Begitu melihat keadaan Dony, orang-orang itu tersenyum-senyum maklum. Tetapi ada seorang wanita cantik yang duduk di pojok kafe itu sejak tadi memperhatikan tingkah laku Dony. Ia lalu bangkit dari duduknya dan datang menghampiri.
“Hai, kayaknya asyik banget ngobrolnya. Boleh dong bergabung,” sapanya kepada Dony sambil menepuk-nepuk pundaknya dan duduk persis disampingnya.
Dony menengok kaget karena tepukan halus di pundaknya itu. Begitu matanya memandang wajah wanita itu, ia bertambah kaget. Sama sekali tak menyangka akan bertemu di tempat seperti ini..
“Oh! Hai,” balas Dony tidak bersemangat begitu mengetahui wanita yang datang itu adalah Ratna. Wanita yang menjadi penghalang programnya di kantor tadi siang.
Melihat sikap Dony yang tidak bersahabat seperti itu, si bartender malah keheranan. Padahal mereka tadi sedang membicarakan apa yang akan dilakukan seandainya ada cewek cantik yang mau bergabung dengan mereka. Kini justru setelah ada cewek cantik dan seksi seperti itu malah dicuekin. Ia geleng-geleng kepala oleh sikap Dony yang menurutnya aneh.
“Rupanya suka juga nongkrong di sini, ya?” Tanya Ratna memulai pembicaraan.
“Ya begitulah…,” jawab Dony datar sambil meminta tambah minumannya lagi.
“Jangan banyak-banyak, kamu sudah mabok lho,” katanya kemudian memperingatkan.
“Emang nape?” tanya Dony sembari mendelik.
Ratna hanya tersenyum saja mendengar gaya omongan Dony yang lain dari pada biasanya. Maklum lagi mabok, demikian kata Ratna dalam hati.
“Jangan frustrasi gitu dong,” ucap Ratna dengan lembut seraya mengelus pundak Dony.
Meski terdengar lembut ucapan itu, tapi di kuping Dony bagaikan suara geledek. Ia mulai mengungkit masalah yang sebenarnya ingin ia lupakan saat itu. Dipandangnya wajah Ratna dengan mata sedikit melotot.
“Hei, denger! Gua nich lagi happy-happy. Siapa bilang frustrasi? Nggak ada dech dalam kamus gua,” jawab Dony sengit.
Giliran Ratna yang kini sengit begitu mendengar jawaban angkuh seperti itu. Ia jadi terpancing untuk memperpanjang persoalan mereka di kantor. Mereka akhirnya berdebat sengit, kalau saja si bartender tidak menengahinya tentunya mereka akan bertengkar hebat.
“Udah lah Boss,” kata si bartender. “Nggak usah bertengkar, kita di sini khan buat senang-senang. Ngapain mesti ribut-ribut gitu, benar khan Non?” katanya kemudian kepada Ratna.
Dony diam tak menjawab. Dia hanya menunduk untuk kemudian meneguk kembali minumannya hingga habis. Ratna menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya yang sudah terpancing emosinya. Ia lalu memberi isyarat kepada si bartender untuk mengisi gelasnya dengan minuman yang sama. Ia pun menenggak minuman itu sekaligus seolah ingin mendinginkan hatinya yang panas. Sebenarnya ia tidak pernah minum minuman beralkohol seperti itu. Begitu minuman itu melewati tenggorokannya, ia rasakan tubuhnya menjadi panas. Ia kegerahan. Lalu ia melepaskan blazernya.
Si bartender melirik kagum menyaksikan tubuh indah yang hanya berbalut tank-top tipis yang menempel ketat itu. Bola matanya sedikit mendelik melihat kain tipis yang sudah basah oleh keringat mencetak jelas bentuk payudaranya yang membusung indah itu. Meski penerangan di bar itu amat temaram, pandangannya masih sempat melihat tonjolan kecil mencuat nakal dari balik tank-top itu. No bra, man! Jerit si bartender dalam hati dengan senang.
“Apa loe liat-liat!” gertak Ratna saat memergoki mata nakal si bartender itu menggerayang ke arah dadanya.
“Sorry Non,” katanya seraya mengalihkan pandangan dan bergeser ke dekat Dony lalu berbisik-bisik.
Mereka kemudian tertawa ngakak sambil sekali-sekali melirik ke arah Ratna. Melihat dirinya menjadi bahan tertawaan dan meski ia tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, tetapi Ratna tahu persis apa yang sedang mereka tertawakan. Dengan kesal ia layangkan tinju ke arah pundak Dony.
“Eiiittt!” Dony buru-buru menangkap kepalan tangannya yang hendak mendarat di pundaknya. “Kok gua yang jadi sasaran?”
“Loe memang kurang ajar!” jerit Ratna dengan suara ditahan karena takut akan menjadi tontonan orang lain.
“Mestinya dia tuh..,” kata Dony menengok ke arah si bartender. “Eh kemana dia? Akh sialan!” lanjutnya ketika melihat si bartender itu sudah berada jauh di ujung bar sedang melayani tamu lain. Ia melirik sebentar sambil tersenyum-senyum.
“Kamu nich kenapa? Morang-maring nggak karuan,” lanjutnya. “Kita happy aja?”
“Bodo!” jawab Ratna ketus seraya menarik tangannya dari pegangan Dony.
Dony malah mempererat pegangannya. Ratna menarik-narik. Mereka akhirnya jadi tarik-tarikan. Tanpa sepengetahuan Ratna, mata Dony menangkap sesuatu yang begitu mengasyikan saat wanita itu berkutat melepaskan tangannya. Tubuhnya jadi berguncang-guncang sehingga membuat payudaranya yang nampak tidak memakai bra itu jadi ikut-ikutan berguncang. Berayun-ayun kesana kemari dengan indahnya. Dony menghela nafas untuk menenangkan goncangan di dadanya akibat pemandangan ini. Sementara matanya tak bisa dialihkan pandangannya dari sana. Pikirannya jadi menerawang dan berandai-andai seperti apa gerangan apabila bagian tersebut tak terhalang oleh kain tipis lagi. Bayangannya semakin jauh melayang.
“Idih matanya sama kurang ajarnya!” kata Ratna sambil menjewer telinga Dony.
“Aduh, aduh…iya, ya…., ya,” kata Dony kesakitan dan melepaskan pegangan tangannya.
Ratna segera menyilangkan kedua tangannya di atas dadanya. Dony mengalihkan pandangan matanya ke wajah Ratna. Nampak wajah itu memerah. Malu kali. Salah sendiri kenapa pake pakaian seperti itu, kata Dony dalam hati kesenangan. Namun ketika memandang wajah itu, Dony agak kesengsem juga. Dalam keadaan seperti itu kecantikannya semakin mempesona saja dimata Dony.
“Cantik sekali,” ucap Dony perlahan sekali. ucapan itu keluar begitu saja tanpa disadari.
Meski suara itu amat perlahan dan tertimpali oleh suara musik di ruangan, namun Ratna sempat mendengarnya juga. Hatinya senang juga mendengar pujian yang terucap tanpa sengaja itu. Berarti tidak dibuat-buat. Entah kenapa jantungnya sempat berguncang juga. Kok jadi gini sich, cetus Ratna dalam hati malu dengan perasaannya sendiri.
“Berani amat ngomong gitu ama gua?” kata Ratna. Meski ucapannya masih kasar namun nadanya terdengar jauh lebih lembut dari sebelumnya.
“Memang kamu cantik kok,” kata Dony menimpali semakin berani.
Dipandangnya mata Dony dengan penuh selidik. Kenapa ia jadi berbalik seperti itu? Apa dia masih juga ingin mempermainkan aku lagi? Demikian kata Ratna dalam hati bertanya-tanya. Ia khawatir pria yang ia akui memang menarik namun sombong ini masih mau membalas perbuatannya ketika meeting tadi siang.
Dulu, ketika pertama kali mereka berkenalan, Ratna sempat tertarik olehnya. Saat itu ia melihat Dony begitu simpatik, ramah dan ganteng. Ekh, kenapa gua jadi berpikir yang enggak-enggak sich? Tiba-tiba egonya muncul lagi. Gengsi dong!
“Ngomong apa sich? Ngaco kamu,” jawabnya ketus kembali meski dengan hati deg-degan. Diam-diam matanya melirik ke arah wajah Dony.
Baru sekarang ini ia bisa memperhatikannya dari jarak dekat. Tampan juga, demikian kata hatinya. Ia jadi salah tingkah sendiri.
“Ratna, kenapa kita harus selalu bertengkar. Kita ini khan kolega yang harus bisa saling kerja sama, ya khan?” ucap Dony memulai untuk berbaikan dengannya. “Lagi pula kita bisa bersahabat, dari pada harus bermusuhan seperti ini. Bosen rasanya.”
Baru kali ini ia mendengar Dony mengucapkan namanya dengan langsung. Selama ini ia selalu menyebutnya dengan panggilan Ibu atau sama sekali tidak. Ratna memiringkan tubuhnya dari tempat duduknya sehingga menghadap ke arah Dony. Kali ini ia sudah tidak malu-malu lagi untuk menatapnya. Mendengar perkataan itu, nampak wajah Ratna sudah tidak seketus seperti apa yang selalu ia perlihatkan kalau berhadapan dengannya. Malah tersungging sebuah senyuman di bibirnya. Ia tak menyadari perubahan itu namun ia melihat Dony seakan terpesona saat memandang dirinya. Duh kenapa lagi nich, ucap Ratna dalam hati begitu mendadak merasakan darahnya berdesir oleh situasi ini.
“Aku juga bosen, Don,” jawabnya hampir tak terdengar. Tatapan mata Ratna semakin lembut. Namun ia segera memalingkan mukanya. Hatinya tiba-tiba khawatir, ya ampun jangan sampai!
“Oke dech. Kita baikan mulai dari sekarang,” kata Dony seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Ratna tak segera menyambutnya. Ia memandang sejenak ke arah uluran tangan Dony. Kemudian ia melirik ke wajahnya. Baru kali ini Ratna melihat wajah itu tersenyum. Manis sekali, akunya jauh dalam hatinya. Tatapan matanya begitu menyejukan, ooh andaikan saja…!
“Masih ngambek?” Tanya Dony khawatir begitu melihatnya tak bereaksi atas uluran tangannya.
Ratna segera tersadar dari lamunannya. Wajahnya semakin memerah karena malu, jangan-jangan Dony bisa menebak apa yang tengah ia pikirkan. Ia segera menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya dengan erat sambil tersenyum lepas.
Melihat itu Dony pun tersenyum senang. Tanpa ia sadari ia cium pipi Ratna dengan lembut. Gerakan ini sama sekali diluar dugaan Ratna, ia terperangah tanpa bisa berbuat apa-apa saat dicium seperti itu dan baru sadar setelah semuanya berlalu.
“Berani-beraninya, Don?” ucapnya tapi dengan nada yang lembut. Tak terlihat kemarahannya atas perbuatan Dony yang begitu spontan.
“Sorry, Na. Gua nggak bisa nahan diri,” jawab Dony agak menyesal. Khawatir ‘perdamaian’ yang sudah dicapai kembali hancur gara-gara perbuatan konyolnya.
“Ya udah,” balas Ratna tanpa komentar.
Dony benar-benar menyesal dengan ulahnya barusan. Ia mengira Ratna kembali marah dan akan membencinya. Melihat sikap Dony yang langsung terdiam membuat Ratna tak enak hati juga.
“Eh yo kita minum lagi,” tiba-tiba Ratna memecah kesunyian di antara mereka seraya memanggil bartender untuk mengisi kembali gelas mereka.
“Ya, ayo kita rayakan hari ini dengan minum!” teriak Dony gembira melihat perubahan ini.
Suasana sekarang jauh berbeda dengan sebelumnya. Mereka ngobrol sambil tertawa-tawa gembira seakan ingin melepaskan semua ganjelan yang ada di hati masing-masing. Tak jarang mereka saling rangkul dan saling cubit disela-sela obrolannya. Tinggalah si bartender yang terheran-heran melihat tingkah mereka yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keakraban mereka. Sinting kali, demikian runtuknya dalam hati.
Tanpa terasa malam semakin larut namun suasana justru semakin meriah, apalagi kini sudah muncul home band tampil membawakan lagu-lagu yang mengundang para tamu untuk bergoyang. Tak ketinggalan Dony dan Ratna, mereka mulai terbawa suasana hingar bingar. Dony segera menarik tangan Ratna untuk bergoyang. Mulanya Ratna ragu tapi ia lalu mengikuti ajakannya. Mereka turut bergabung dengan pasangan-pasangan lain di depan panggung. Hiruk pikuk suara musik dan tawa pengunjung justru membuat suasana semakin panas saja. Tubuh mereka sudah basah bermandikan keringat. Bahkan Dony tanpa malu-malu membuka seluruh kancing bajunya hingga terlihat dadanya yang bidang itu ditumbuhi bulu-bulu. Ratna agak tersipu juga menyaksikan kegilaan Dony ini. Sambil bergoyang, sekali-sekali Ratna melirik ke arah Dony yang sudah bertelanjang dada itu. Terlihat begitu macho, demikian puji Ratna dalam hati sambil membayangkan bagaimana kalau ia menyandarkan kepalanya di sana. Akh.., akh…, lagi-lagi aku berpikir yang enggak-enggak!
Meski Dony dalam keadaan setengah teler dan dalam suasana yang hiruk pikuk itu, ia masih bisa melihat apa yang sedang diperhatikan koleganya yang cantik dan seksi ini. Apalagi ketika ia melirik bagian dadanya. Ia melihat benda kembar yang membusung penuh itu turut berguncang seiring hentakan musik. Bahkan tank-top berbahan kain tipis dan sudah basah oleh keringat itu mencetak jelas bentuk payudaranya yang indah. Meski cahaya di sana sangat terbatas, mata Dony sempat menikmati putingnya yang mencuat begitu menggairahkan.
Mereka mungkin saja menyadari bahwa mereka sedang berusaha untuk saling menarik perhatian melalui gerakan dan isyarat-isyarat seksual. Hanya saja ada kendala yang membuat mereka berpikir panjang untuk mewujudkannya.
Apa mereka dapat menghindarkan semua itu? Enggak tahu dech! Begitu kira-kira pikiran mereka. Sudah beberapa lagu mereka ikuti dan nampaknya Ratna sudah agak kepayahan lalu mengajak Dony untuk istirahat.. sambil berpelukan mereka berdua kembali ke tempat duduk. Entah karena pengaruh alkohol atau lainnya, mereka sudah tidak merasa risih bertingkah bak sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
Tak lama setelah mereka mengendurkan sensasi-sensasi selama bergoyang tadi, Dony lalu menarik wajah Ratna dan membisikan sesuatu ke telinganya. Ratna tertawa dan dengan genit mencubit pinggang Dony hingga mengaduh kesakitan. Entah apa yang dibisikan Dony padanya hanya kemudian Ratna terlihat mengangguk malu-malu untuk kemudian berdiri diikuti oleh Dony yang mengajaknya pergi dari tempat itu.
Di tempat parkir mereka segera masuk ke mobilnya masing-masing. Dony segera menjalankan mobilnya diikuti oleh mobil Ratna dari belakang. Mobil mereka beriringan menyusuri jalan-jalan mulus yang nampak lengang berbeda apabila di siang hari. Tak sampai setengah jam mobil mereka sudah berada di pelataran parkir yang menghadap ke laut. Mobil mereka parkir berdampingan. Ada beberapa mobil di sekitar mereka, namun jaraknya agak berjauhan. Nampaknya tempat ini memang merupakan tempat orang berpacaran.
Tak lama kemudian, Dony turun dari mobilnya. Cuaca malam itu terasa dingin karena hujan mulai rintik-rintik berjatuhan. Ia segera membuka pintu mobil Ratna dan langsung masuk.
“Ufh dingin juga,” kata Dony sambil mengibas-ngibas bajunya yang sedikit basah oleh air hujan.
“Hei Don! Ngapain loe ngajak gua kemari?” belum sempat Dony menutup pintu kembali, Ratna sudah memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu.
“Gua sich maksudnya supaya bisa ngobrol dengan tenang, jauh dari kebisingan. Sambil menikmati pemandangan indah ke sana,” jawab Dony sembari menunjuk ke arah laut lepas yang nampak terang meski gerimis.
Pandangan Ratna mengikuti arah telunjuk Dony. Ia menghela nafas panjang menyaksikan keindahan pemandangan itu. Tanpa terasa ia membayangkan bila keindahan seperti ini benar-benar bisa ia nikmati dengan orang yang dicintainya. Tentunya sungguh membahagiakan. Mendadak roman wajahnya berubah, nampak sekali kesedihan di raut wajah manisnya.
“Lho kok jadi sedih? Apa gua salah ngomong?” tanya Dony ketar-ketir.
“Enggak Don. Gua cuman..,” Ratna tak meneruskan kata-katanya. “Akh sudahlah. Don?” panggilnya sambil menoleh ke arah Dony dengan pandangan sayu, “Kamu sadar khan kalau kita ini masing-masing sudah berkeluarga,” lanjutnya.
Pertanyaan Ratna terdengar oleh Dony bagaikan petir yang menyadarkannya dari suasana ini. Dony langsung terdiam dan pikirannya langsung teringat akan anak dan istrinya yang tengah berlibur di rumah neneknya.
“Loe bener, Na,” jawab Dony perlahan sekali.
“Loe inget mereka ya? Certain dong tentang mereka,” pinta Ratna.
“Ya gua inget mereka,” jawab Dony kemudian menceritakan tentang keluarganya.
“Loe beruntung Don,” komentar Ratna.
“Ya gua beruntung. Nah bagian loe sekarang certain,’ tanya Dony kemudian.
Sebelum menjawab, Ratna kembali menghela nafas berat. Dengan pandangan kosong ke arah laut, ia mulai bercerita bahwa dulu ia dinikahkan oleh orang tuanya tanpa didasari rasa cinta sama sekali. Dony terperangah saat ia menyebutkan bahwa lelaki yang dinikahinya adalah pemilik saham mayoritas perusahaan tempatnya bekerja. Ratna memang sengaja meminta kepada suaminya agar orang di kantor tidak tahu siapa dia sebenarnya supaya tidak membuat semua orang rikuh dan agar ia bisa lebih professional dalam bekerja.
“Don aku minta supaya kamu tetap bersikap seperti kamu belum tahu siapa aku sebenarnya,” pinta Ratna wanti-wanti. Ia tak ingin sikap Dony yang sudah amat ia sukai berubah karenanya.
Dony menganguk tak pasti karena jauh dalam hatinya ia sedikit ngeri oleh si pemilik saham yang konon sangat berkuasa dalam menentukan apa pun di perusahaan tempatnya bekerja. Bagaimana kalau ia tahu bahwa dirinya kini tengah berduaan dengan istrinya dalam mobil malam-malam begini.
“Kau tak perlu takut ketahuan oleh suamiku. Ia sedang di Amerika sampai bulan depan,” kata Ratna kemudian seolah tahu persis apa yang menjadi pikiran Dony saat itu. “Aku sudah lama ingin meceritakan semua ini kepada orang yang bisa kupercaya.”
Dony agak tersanjung juga oleh ucapan itu. Akhirnya ia mendengarkan semua keluh kesah Ratna sampai ke hal-hal yang paling pribadi sekalipun. Rupanya Ratna memang sudah merasa percaya pada Dony hingga ia tak sungkan lagi menceritakan bagaimana tertekannya hidup dirinya. Ia ternyata merupakan istri kedua. Awalnya memang kehidupan mereka normal saja, namun seiring dengan berjalannya waktu sehingga umur sang suami pun semakin bertambah tua. Perbedaan umur mereka cukup mencolok bahkan bisa dibilang ia lebih pantas menjadi anak atau bahkan cucunya.
Meski tidak secara gamblang diceritakan, Dony sudah bisa menebak bahwa sang suami sudah tak mampu memberikan nafkah bathin padanya. Terlebih lagi, katanya, sang suami kini lebih sering berada di keluarga istri pertama. Ratna seringkali ditinggal sendiri di rumah mewahnya, tanpa anak dan hanya ditemani oleh pembantunya. Ia, katanya kemudian, ingin agar suaminya melepaskan saja dirinya.
Ratna tak mampu meneruskan ceritanya lagi. Ia menangis tersedu-sedu. Mendengar tangisnya yang begitu menyayat, Dony dapat merasakan kepedihannya, bathinnya yang amat tertekan selama ini nampaknya baru bisa ditumpahkan sekarang ini. Dony tak tahu mesti berbuat apa melihatnya seperti itu yang semakin lama semakin memilukan saja tangisannya.
Secara naluri ia lalu menarik pundak Ratna dan merengkuhnya dalam pelukan. Tangis Ratna semakin menjadi-jadi ketika Dony menyuruhnya untuk menumpahkan segala kepedihan melalui tangisan untuk melegakan perasaannya. Tanpa terasa tangan Dony ikut mengelus-elus rambutnya dengan lembut dan penuh perasaan.
Sikap Dony yang begitu penuh perhatian membuat Ratna terhanyut perasaannya. Ia lalu mendongakkan wajahnya dan memandang wajah Dony dengan tatapan sayu. Dony balas menatapnya. Lalu ia mengusap air mata yang bercucuran di pipinya. Ratna melenguh tak jelas sambil menyentuh bibir Dony dengan jemarinya yang halus.
“Don..,” lenguhnya perlahan hampir tak terdengar.
Tatapan mata mereka saling bertemu sejenak. Tak ada ucapan yang keluar dari bibir mereka. Semuanya mereka tumpahkan melalui tatapan itu. Lalu entah siapa yang memulai, tahu-tahu kedua wajah mereka saling mendekat dan selanjutnya bibir mereka saling bersentuhan. Ratna melenguh panjang. Perasaannya seakan melayang jauh entah kemana meninggalkan dunia nyata yang dihadapinya. Awalnya mereka hanya saling menyentuhkan bibir saja. Namun ketika Ratna mulai menciumnya dengan penuh perasaan, Dony tak mampu mengendalikan diri lagi. Ia balas dengan kehangatan yang sama bahkan menjurus panas. Ratna tak mau kalah dan balik membalasnya. Akhirnya mereka lupa diri akan siapa diri mereka sebenarnya dan nampaknya kalaupun terbersit sejenak kesadarannya, apakah mereka mampu menghentikannya begitu saja?
Suasana di luar pun sudah berubah. Hujan yang tadi hanya rintik-rintik saja kini sudah mulai membesar sehingga membuat kabut di seluruh kaca mobil dimana kedua insan ini berada. Suasana yang sangat mendukung ini membuat mereka bertambah panas. Mereka tidak hanya berciuman saja. Mereka sudah saling meraba, mengelus dan berbuat apa saja yang mengakibatkan gairah mereka semakin membara.
Ratna yang kesehariannya selalu berwibawa, anggun dan lembut tutur sapanya, kini berubah seperti singa betina liar yang kehausan di tengah padang pasir kering.
“Ooohhh… ookkkhhhh, Don…,” desahnya semakin menggairahkan. Dipeluknya tubuh Dony dengan erat seolah khawatir lepas darinya.
Dony tak menyahut. Ia balas memeluk dan tangannya mulai mencari-cari ke sekujur tubuh wanita cantik ini. Tangannya lalu menelusup lewat bagian bawah tank-topnya, merayap ke atas perut lalu merambah ke payudaranya yang tak memakai bra. Jemarinya menjelajah ke seluruh permukaan halus kulit buah dadanya yang terasa semakin membusung saja sesaat setelah terkena sentuhannya.
Ratna mendesah, kepalanya melengak ke belakang sehingga dadanya membusung ke arah wajah Dony. Disodorkan seperti itu, Dony tak tinggal diam. Disingkapnya tank-top itu sehingga dadanya terbuka lebar. Dony mendecak kagum menyaksikan kedua bukit kembar itu membusung penuh, kedua putingnya nampak sudah mengeras dan mencuat ke atas. Pemandangan ini sungguh sangat menggairahkan sekali dan amat mengundang. Setelah puas memandangi keindahannya, Dony segera membungkuk agar bibirnya dapat menciumi buah dada itu. Desahan Ratna semakin menjadi-jadi, kepalanya semakin melengak ke belakang seakan memberikan keleluasan pada Dony untuk menikmati semua miliknya itu.
“Auuuhhhh…., teruuuussss, yaaa iseeeeppphhfff…” ucapan Ratna semakin tak karuan merasakan kenikmatan ini, apalagi saat Dony menghisap putingnya sementara tangan kanannya meremas-remas dengan lembut buah dada yang satunya lagi.
Dalam keadaan seperti ini mana mungkin Dony menghentikan perbuatannya meski dalam keadaan sadar sekalipun. Apalagi alkohol dari minuman di bar tadi masih mempengaruhi dirinya. Ia pun lepas kendali, tanpa memikirkan siapa dirinya, siapa wanita yang tengah dicumbunya dan siapa pula suami wanita itu, Dony terus menggerayang ke bagian-bagian paling sensitif milik wanita ini.
Akibatnya sungguh luar biasa, Ratna semakin liar saja. Tubuhnya meliuk-liuk seolah ingin agar tak pernah luput dari setiap sentuhan Dony. Suasana di dalam mobil yang serba terbatas itu semakin panas kala tangan kiri Dony mulai menelusup di balik roknya dan merayap perlahan di atas pahanya. Nafas Ratna semakin memburu seiring dengan semakin mendekatnya elusan jemari Dony ke pangkal pahanya. Ia justru sudah merasakan bagian itu basah. Ratna membuka kedua kakinya agar tangan Dony dapat dengan leluasa menyelinap ke dalam CD-nya.
“Ouugghhhfff…” jerit Ratna melengking saking nikmatnya saat jari Dony menyentuh bagian yang sudah lembab itu. Ia dorong tangan Dony masuk lebih dalam.
Jemari Dony mulai menyentuh-nyentuh bibir vaginanya. Terasa sudah basah. Jarinya menyeruak bulu-bulu yang terasa begitu lebat di seputar liang itu. Kemudian menyusuri belahannya, dielusnya perlahan, bergerak naik turun sambil menusuk sedikit demi sedikit.
“Oohhh Don! Enakkkhhh sekaliiiiii..!” jerit kenikmatan meluncur deras dari bibir Ratna kala ujung jempol Dony mengusap kelentitnya.
Pinggul Ratna bergoyang mengikuti irama gerakan jempol Dony yang begitu lihai. Tubuhnya meliuk-liuk menahan rasa nikmat yang sudah lama tak ia alami. Membayangkan hal itu, ia jadi teringat apa yang terlewatkan. Tangannya lalu menjulur ke bawah. Mula-mula diletakan di atas paha Dony, lalu merayap naik perlahan. Tangan Ratna berhenti di pangkal pahanya, meremas-remas sejenak untuk kemudian naik kembali. Matanya agak mendelik begitu menyentuh bagian yang sudah mengeras di balik celana Dony. Matanya semakin berbinar membayangkan bagaimana bentuknya jika sudah telanjang nanti.
“Don!?” pekiknya setengah terperangah.
“Kenapa, Yang?” tanyanya heran.
“Nggak.. akh…, bukain ya?” tanyanya kemudian.
Sebenarnya ia tak perlu minta izin dahulu dalam keadaan begitu sudah pasti Dony sama sekali tak keberatan. Dan memang tanpa menunggu jawaban, jemarinya yang lentik itu menarik ritsluiting celana Dony kemudian merogoh ke dalam. “Ehhmmm…,” lenguhnya.
Nampaknya ia begitu senang mendapatkan apa yang selama ini ia cari-cari. Begitu keras! Jemarinya kemudian membelai-belai sepanjang batang yang masih terhalang celana dalamnya. Belaiannya berubah menjadi remasan. Dari bibir Ratna keluar desis-desis penuh kenikmatan seiring dengan gerakan jari Dony yang mulai menusuk ke dalam liang memeknya. Kenikmatan yang ia rasakan semakin lengkap karena sejak dari tadi mulut Dony tak pernah berhenti mengemot puting susunya.
Ratna tak mau dibilang egois karena hanya mementingkan kenikmatan sendiri. Ia lalu mengais celana dalam Dony dan meraih batang kemaluannya yang besar itu ke dalam genggamannya. Meski ia tidak bisa melihat ke bawah, tapi ia bisa merasakan betapa besar dan panjang batang milik Dony itu. Dengan lembut ia mulai mengocok batang itu.
Giliran Dony yang kini menggelinjang merasakan remasan dan kocokan tangan lembut milik wanita cantik itu. Ia sangat lihai melakukannya, apalagi saat telunjuknya mengusap-usap moncongnya. Terasa ngilu saking enaknya. Dony tak mau kalah, gerakan jemari di dalam liang memek Ratna semakin menggila, menerobos ke seluruh relung-relung kewanitaannya. Merambah ke bagian-bagian yang menggerinjal. Terdengar nafas Ratna mulai megap-megap menghadapi semua itu. Rasanya tak akan bertahan lama lagi karena bagian yang tak pernah tersentuh pun, kali ini tak terlewatkan oleh serangan jemari Dony. Pinggul Ratna bergoyang liar, meliuk-liuk mengimbangi gerakan jemari Dony.
Sementara itu, tangan Ratna pun tak tinggal diam. Tangannya terus mengocok dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat. Mereka rupanya tengah berlomba untuk memberikan yang terbaik. Tubuh mereka bergoyang-goyang liar sehingga membuat mobilnya pun ikut-ikutan goyang. Untunglah hujan cukup deras mengguyur bumi sehingga menghalangi pemandangan apa yang tengah terjadi di dalam mobil. Bahkan pekikan kenikmatan yang meluncur dari mulut Ratna yang cukup kencang itu pun sama sekali tidak sampai terdengar keluar.
Tak berapa lama kemudian Ratna mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga jari Dony melesak jauh ke dalam, kedua kakinya dikempitkan sehingga menjepit tangan Dony diam tak bergerak jauh di dalamnya. Diiringi jeritan kecil panjang, tubuhnya bergetar keras ketika ia mencapai titik puncak kenikmatannya.
“Oouugghhff……….! Dooonnnn, enaaaaakkkkk!”
Sreeeeeetttttt….., sreeet…, ssrrreeeettttttt!!!!!
Ratna merasakan air maninya menyembur berkali-kali untuk yang pertama kalinya sejak suaminya tak memiliki gairah lagi. Luar biasa sekali ekspresi wanita cantik ini. Begitu menggairahkan, begitu dahsyat.
Rupanya luapan kenikmatan Ratna berpengaruh banyak pada diri Dony. Ia merasakan batangnya terasa kelu. Tubuhnya bergejolak hebat. Pantatnya bergerak naik turun mengimbangi kocokan tangan Ratna pada batangnya dan… akh….., akh, akh…..
Creeeeeettttt! Creeetttt!!! Creeeetttt!
Dony mengeluarkan suara geraman berat begitu dari kemaluannya menyemburkan cairan kental berkali-kali. Ratna terus mengocoknya tak henti-henti seakan ingin menguras seluruh isinya. Ia coba melirik ke bawah karena ingin melihat pemandangan saat lelaki mencapai orgasmenya, tapi sayang hanya kegelapan yang ia lihat selain merasakan cairan kental dan hangat membasahi seluruh telapak tangannya.
Mereka terkulai lemas dengan nafas tersengal-sengal. Meski hanya permainan tangan, tetapi rupanya cukup menguras tenaga dan pikiran mereka berdua. Samar-samar dalam kegelapan itu, nampak tersungging senyum kepuasan dari bibir Ratna. Ia lalu mengelus kepala Dony yang terkulai lemas di atas dadanya. Ia berbisik bahagia, “Enak sekali, Don.”
Kira-kira lima menit mereka beristirahat tanpa bergerak dan mengeluarkan sepatah kata pun. Dony mengangkat kepala dan melirik ke arah Ratna sambil tersenyum hangat. Ratna balas tersenyum. Mesra sekali senyuman itu diikuti oleh sebuah kecupan lembut pada bibir Dony.
Mereka kembali ke posisi duduk semula. Ratna merapikan kembali pakaiannya yang tak karuan diikuti oleh pandangan mata Dony yang tekagum-kagum dan pada saat ia akan menaikkan celana dalamnya, tiba-tiba Dony menahan lengannya. Ratna melirik dengan pandangan penuh tanda tanya. Belum sempat ia bertanya, kepala Dony langsung menunduk ke arah selangkangannya dan mencium kemaluannya.
Darahnya kembali berdesir merasakan hembusan nafas hangat di sekitar kemaluannya. Ratna tertawa geli saat lidah Dony menyentuh bibir kemaluannya. Geli tapi enak!
“Akh…Don! Kamu nakal sekali! Bikin gemes aja!” kata Ratna terputus-putus.
Dony kembali mengangkat kepalanya sambil ikut-ikutan tertawa.
“Idih kok malah ketawa?” seru Ratna semakin gemes. “Awas ya!”
Ratna mendorong tubuh Dony hingga kembali duduk dan menggelitik pinggangnya. Dony tertawa kegelian dan meminta supaya menghentikannya. Ratna berhenti menggelitik, matanya melirik ke arah celana Dony yang masih terbuka dan menemukan batangnya yang terkulai lemas sementara di sekitarnya nampak cairan-cairannya yang sudah agak mengering mengotori celananya.
“Aduuhhh, jadi belepotan begini sich,” kata Ratna seraya buru-buru mengambil tissue basah di atas dashboard mobil dan mengelapnya dengan hati-hati.
Terkena sentuhan tangan lembut itu, tanpa bisa dicegah, batang Dony mulai memperlihatkan kehidupannya kembali. Sedikit demi sedikit seiring dengan usapan lembut Ratna, batang itu semakin membesar dan mengeras bagaikan besi. Mata Ratna tak pernah mengedip mengikuti perkembangan itu. Ia terkagum-kagum menyaksikan kemaluan Dony sudah ngaceng kembali dan siap action!
“Cepet banget,” ucapnya perlahan penuh kekaguman akan kejantanan teman sekantornya ini.
“Kepengen lagi ya?”
“He-eh,” jawabnya pendek.
“Gimana kalau kita cari tempat yang lebih nyaman,” saran Dony coba-coba karena mengingat jam sudah menunjukan hampir tengah malam.
“Kamu sendiri gimana? Nggak dicariin?” Ratna balik tanya.
“Aku nggak apa-apa. Lagi bujangan… he.. he.. he,” jawabnya sambil tertawa.
“Curang…,” sergahnya pura-pura cemberut padahal ia juga kepengen banget meneruskan acara yang tentunya akan jauh lebih hot. Tapi sebagai wanita ia jaga gengsi juga jangan sampai kelihatan kegatelan banget.
Ratna pura-pura berpikir sejenak,
“Gimana ya, ini kan udah malem,” katanya sambil menunggu agar Dony terus mendesaknya.
“Nggak apa-apa. Lagian kamu juga lagi bebas kan?” seolah mengerti apa yang ada dalam benak wanita ini, Dony berlagak memintanya terus.
“Oke dech,” jawabnya dengan suara yang amat perlahan.
“Nah gitu dong. Itu baru namanya cewek gua yang cantik,” kata Dony dengan gembira.
Mendengar itu Ratna kembali berpura-pura marah sambil memelototkan matanya. Melihat ekspresi wajah Ratna, gairah Dony seakan mendesak kembali. Lalu dengan cepat diciumnya bibir yang sensual itu dengan penuh gairah.
“Ehmm…. mmmpphhhff…, cepetan dong!”
“Oke sayang. Oke!” Dony buru-buru melepaskan ciumannya dan bergegas keluar dari mobil untuk segera naik ke mobilnya yang diparkir di sampingnya.
Singkat cerita mereka sudah memesan sebuah cottage tak jauh dari tempat itu. Keduanya buru-buru masuk ke dalam untuk segera memulai kembali acara yang tertunda. Baru saja Ratna menyalakan saklar lampu, Dony sudah memeluknya dari belakang dan menciumi tengkuknya dengan penuh gairah. Ratna melenguh merasakan ciuman hangat yang langsung membangkitkan gairahnya. Kepalanya melengak kebelakang sehingga memperlihatkan kulit lehernya yang halus dan harum. Dony tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mencumbui daerah yang cukup sensitif bagi wanita. Tangannya pun ikut-ikutan beraksi menyusup ke balik pakaian Ratna, mengelus-elus permukaan perutnya yang rata untuk kemudian merayap, menggerayangi buah dadanya yang begitu kenyal padat berisi.
Cumbuan Dony yang begitu lihai membuat lututnya bergetar sehingga tak tahan untuk berdiri lama. Ia lalu berbalik dan menarik kursi yang berada di sampingnya untuk duduk. Cumbuan Dony tak pernah terlepas dan terus mengikuti kemana gerakan Ratna. Begitu sudah duduk, Dony langsung melucuti pakaian atas Ratna hingga telanjang. Matanya langsung berbinar penuh kagum menyaksikan kedua bukit kembar milik wanita itu nampak menggantung indah dan membusung penuh di dadanya.
Dengan rakus, Dony melahap satu per satu daging kenyal itu. Lidahnya menjilat-jilat di seputar putingnya, sesekali menghisap dan mengemot benda kecil kemerahan yang semakin mencuat itu. Serangan Dony memang begitu gencar, tangannya beraksi kembali menarik rok dan sekaligus celana dalamnya sehingga kali ini Ratna benar-benar telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh mulusnya.
Mulut Dony merayap ke bawah menyusuri permukaan perutnya untuk kemudian langsung terbenam di antara kedua pangkal paha Ratna. Lagi-lagi Ratna menjerit kecil kala ujung lidah Dony menyentuh labia vaginanya. Tubuh Ratna bergetar bagaikan terkena stroom tekanan tinggi. Sambil berpegang pada pinggiran kursi, ia menaikan kedua kakinya ke atas sehingga bagian selangkangannya terbuka lebar-lebar. Dony segera menyerbu belahan daging berwarna kemerahan yang sembunyi di antara bulu-bulu lebat di seputarnya. Jemarinya kembali mengorek-ngorek bagian itu, sementara lidahnya terus menjilat-jilat.
“Ouh…., ooooouuuhhhhh…. Dooooonn…” Ratna mengerang-erang keenakan. Kedua tangannya segera mencekal kepala Dony dan membenamkannya dalam-dalam.
Lidah Dony bergerak lincah mempermainkan kelentit yang menyembul di antara belahannya. Benda kecil yang sangat sensitif itu sudah keras sekali. Akibatnya Ratna megap-megap seperti kehabisan nafas menahan nikmat yang tak terhingga. Suasana yang jauh lebih nyaman dan aman serta gairah yang telah lama terpendam membuat ia tak bisa bertahan lama menikmatinya karena beberapa detik kemudian tubuhnya berguncang keras, menggelapar-gelepar bagaikan ikan kehabisan air. Diiringi lengkingan panjang, Ratna melepaskan tekanan yang mendesak dari dalam dirinya.
“Aaaaaakkkkkhhhhh!!!!” jeritnya penuh kenikmatan.
Ratna kemudian meraih kepala Dony dan menciumi wajahnya dengan penuh kemesraan seolah ingin menyatakan ucapan terima kasih atas kenikmatan yang baru ia berikan. Ciumannya semakin memanas dan liar. Didorongnya tubuh Dony ke arah ranjang hingga jatuh terlentang di sana. Ia langsung menindihnya dari atas sambil menciumi sekujur tubuhnya sementara jemarinya dengan cekatan mempreteli seluruh kancing bajunya dan melepaskannya. Lalu membuka ikat pinggangnya. Tanpa memperdulikan Dony yang mungkin agak terkejut dengan perangainya, Ratna langsung memelorotkan seluruh celana Dony.
“Oooww!!!” pekiknya tertahan menyaksikan batang milik Dony yang sudah mengacung keras seperti tiang pancang itu.
Ia tak pernah mengira bahwa batang milik teman sekantornya ini jauh lebih besar, panjang dan amat keras seperti perkiraannya sewaktu memegangnya dalam kegelapan di mobil tadi. Ingin rasanya ia berteriak kegirangan mendapatkan sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Gede banget!” bisik Ratna seraya meraba-rabanya seperti anak kecil yang baru diberi mainan.
Ia kemudian merayap di atas tubuh Dony, turun ke arah selangkangannya. Kini wajahnya persis berada di depan batang yang mengacung itu. Dipandanginya sekujur batang itu dan setelah puas baru ia menjulurkan lidahnya ke atas moncong batang itu.
“Errrggghhhh….,” Dony mengerang keenakan saat merasakan lidahnya yang hangat. Ia melirik sejenak untuk melihat ke bawah.
Ratna pun melirik ke atas. Pandangannya bertemu. Dony menganggukkan kepalanya. Entah apa maksudnya. Seolah mengerti, Ratna membuka mulutnya dan perlahan-lahan memasukan batang itu. Kedua bibirnya dirapatkan dan mulai mengulumnya. Lidahnya bermain-main di sekujur batang itu sambil mengemot-emot.
“Auuuukkkhhhh….,” kembali Dony mengerang.
Kepala Ratna bergerak naik turun. Dari mulutnya terdengar suara keciprakan selomotannya. Sungguh mendebarkan sekali mendengar suara-suara itu. Ratna tak henti-hentinya mengulum, mengemot dan menghisap-hisap seolah ingin membalas kenikmatan yang dirasakannya tadi. Akibatnya Dony berkelejotan menahan kenikmatan luar biasa ini. Ia merasa tak akan bertahan lama. Dony nampaknya tak ingin keluar sebelum keinginannya tercapai. Ia lalu menahan gerakan Ratna dan mengisyaratkan padanya untuk naik.
Ratna mengerti apa maksudnya, ia lalu berjongkok mengangkangi tubuh Dony sehingga selangkangannya persis berada di atas batang yang berdiri tegak itu. Tubuhnya kemudian turun perlahan-lahan. Batang Dony yang sudah ia selipkan di antara belahan memeknya mulai melesak masuk. Dengan mata terpejam Ratna meneruskan pinggulnya semakin turun sampai akhirnya batang Dony amblas seluruhnya.
Bleeeesssshhhhhhh!!!
“Aaaakkkhhhhhh!!!!” Ratna menghembus nafas lega saat berhasil memasukan seluruhnya padahal tadi sempat ngeri kalau terjadi apa-apa dengan miliknya karena begitu seret sekali masuknya.
Ia berhenti sejenak sambil menarik nafas, lalu mulai bergoyang sambil mengangkang di atas tubuh Dony. Kedua tangannya bertumpu di atas dada Dony, pantatnya menggeol-geol sambil bergerak naik turun dengan irama yang teratur. Tubuhnya nampak bergerak seolah sedang menunggang kuda dan memacunya dengan penuh gairah.
Di bawah sana, Dony tak tinggal diam. Pinggulnya turut bergerak naik turun, bergoyang kiri kanan mengimbangi irama gerakan wanita yang menungganginya. Keadaan semakin bertambah panas, mereka sama-sama berpacu saling berlomba menuju puncak pendakian. Seiring dengan meningkatnya kecepatan, Ratna membungkukan tubuhnya hingga sejajar dengan tubuh Dony sementara pantatnya menungging ke belakang bak seorang joki yang tengah memacu secepat mungkin saat mendekati garis finish.
Demikian pula dengan Dony, kedua tangannya merangkul erat tubuh sintal wanita itu yang nampaknya hampir mencapai puncak pendakiannya. Tubuhnya semakin berguncang, berkelojotan seperti ayam disembelih. Pantatnya bergerak cepat naik…, turun…., naik…, turuuuunnnn…., dan akhirnya ditekannya kuat-kuat. Dari mulutnya meluncur desisan panjang dan lenguhan keras mirip sapi sedang birahi.
Seeeeeerrrrrrrrrr!!!!! Ratna merasakan air maninya menyembur kencang dan banyak sekali menyirami batang kemaluan Dony yang nampak masih bergerak keluar masuk.
“Auuuugghhh….. Dooon!!! Cepet keluaaarinhhhh…., udah nghhhiillluuuuuu……., ooookkkhhhhh!!” kepala Ratna menggeleng-geleng saking gelinya merasakan tusukan demi tusukan batang keras di dalam kemalauannya.
“Oughh…, ouuuggghhh…., AAAAKKKKHH!!!!!” Dony mengerang-erang merasakan nikmatnya orgasme berkali-kali.
Mereka bergulingan di ranjang sambil berpelukan erat menikmati puncak dari segala kenikmatan permainan cinta ini.
“Fhhhuuiiiihhh!!!” Dony merasakan kelegaan. Lepas sudah ketegangan di sekujur tubuhnya.
“Wow!” pekik Ratna puas. Permainan kedua yang cukup menyita tenaga ini sungguh sangat mengasyikan sekali.
Dari raut wajahnya nampak sekali ia begitu menikmatinya dan benar-benar memuaskan. Ratna memeluk Dony begitu mesra seakan tak ingin melepaskan untuk selamanya. Mereka berdua seolah tak ingat akan waktu yang telah melewati tengah malam, atau keluarga mereka yang mungkin mengira mereka sudah ada di rumahnya masing-masing. Apa jadinya kalau perselingkuhan itu tercium oleh keluarga mereka.

Thanks

Gairah Nakal Wanita Karir

Saya adalah seorang pria yang berusia 23 tahun dan saya baru saja selesai kontrakku dengan salah satu perusahaan pelayaran luar negeri. Sekarang saya adalah pengangguran sebab saya tidak punya rencana untuk kembali berlayar setelah 2 tahun lamanya. Semua yang saya ceritakan dibawah ini adalah nyata. Memang cerita ini terlalu bertele-tele bila dibandingkan dengan cerita-cerita yang pernah saya baca di 17thn, namun inilah cerita yang ingin saya ceritakan bagi pembaca juga penggemar 17thn.Cerita ini berawal dari seringnya saya pergi bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaga papa saya di rumah sakit swasta di daerah Jatinegara, Jakarta Timur.
Pada hari Minggu siang tanggal 5 November 2000, saya turun ke bawah tempat merokok di rumah sakit tersebut, namun di saat saya menikmati rokokku itu, di dekat tempat dudukku ada seorang wanita setengah baya yang kira-kira berumur 30 tahun. Ia tampak sibuk sekali menelepon sana-sini dengan handphone-nya untuk mencari jasa derek mobil untuk mobilnya. Entah karena saya merasa terganggu atau ada keinginan untuk membantu wanita itu, akhirnya saya beranikan diri untuk menawarkan jasa saya sebab siapa tahu kerusakannya masih sepele. Setelah mengumpulkan semua keberanian untuk menawarkan jasa saya akhirnya meluncur juga dari mulutku untuk membantu dia.

“Eee.. maaf Tante, kalo saya boleh tau, mobil tante rusak?” tanya saya dengan ragu-ragu.
“Iya Dik”, jawabnya singkat sambil tetap menghubungi seseorang dengan handphone-nya.
“Eee.. kalo boleh tau, Tante.. mobil Tante apa merk-nya?” tanya saya lagi.
“Honda, Honda Maestro”, jawabnya dan kali ini dia melihat saya.
“Kalo boleh, saya coba bantu Tante buat benerin mobilnya Tante, sebab siapa tau saya bisa, Tante!” kata saya menawarkan pertolongan.
“Eee.. boleh-boleh.. Ayo ke mobil saya yuk”, pintanya.
Setelah itu kita berdua jalan meninggalkan tempat itu untuk menuju ke mobil wanita itu, yang ternyata tidak jauh dari tempat merokok. Setelah saya dibukakan pintu, saya coba starter mobilnya tapi hasilnya nihil. Dengan kasus seperti ini, saya katakan pada wanita itu bahwa ada kemungkinan bahwa ini masalah dinamonya dan saya sarankan untuk mendorong mobilnya sebab tidak ada masalah sehingga dia bisa tiba di rumahnya atau bengkel sebelum kesorean dan tidak perlu memanggil jasa derek mobil karena biayanya yang mahal. Dan sepertinya dia berpikir sejenak dan dia setuju dengan saran saya, hingga akhirnya saya memanggil salah satu satpam yang saya temui untuk meminta pertolongannya untuk mendorong mobil.
Agh, akhirnya mobil wanita itu nyala juga dan seperti dugaanku bahwa masalahnya hanya masalah dinamo. Dengan posisi wanita itu di dalam mobil dan saya di luar sambil memperhatikan dia untuk meninggalkan saya, tiba-tiba dia memanggil saya dengan membuka kaca jendelanya dan mengucapkan terima kasih kepada saya sambil memberikan uang 2 lembar seratus ribu tapi saya tolak sebab pertolonganku adalah dari hati nuraniku bukan untuk meminta balasan namun dia tetap memaksa saya dan akhirnya saya ambil satu saja dan satunya lagi tetap di tangannya sambil mengucapkan bahwa itu saja sudah lebih dari cukup. Akhirnya dia mengalah karena saya tetap bertahan untuk tidak mengambil sisanya tapi dia membuka tasnya dan mengambil kartu namanya dan diberikan buat saya sambil menitip pesan bahwa kalau ada sesuatu atau saya sedang senggang diminta menghubungi dia, dan saya terima kartu namanya. Sebelum pergi, dia menanyakan nama saya sambil menyodorkan tangannya dan saya jawab bahwa nama saya Willi dan dia mengatakan bahwa namanya Lucy. Dan akhirnya ia pergi dengan mobilnya dan saya tetap berdiri melihat mobilnya hingga hilang ditelan sebuah tikungan ke kanan.
Dua hari setelah kejadian itu, papa saya meninggal dan saya sibuk menyelasaikan segala urusan yang berkaitan dengan papa saya mulai dari rumah sakit, rumah duka, dikremasi hingga jadinya Akte Kematian.
Setelah semuanya selesai dan saya kembali pada kehidupanku yang hanya menghabiskan hari demi hari saya dengan jalan-jalan dengan teman-teman saya ke sana ke mari. Hingga pada suatu hari di bulan Desember 2000, saya teringat kembali dengan wanita yang saya kenal di rumah sakit dan saya cari kartu namanya dan akhirnya ketemu. Akhirnya saya hubungi Handphone-nya walaupun di kartu nama itu ada nomor telepon rumah dan kantornya.
“Hallooo?!” terdengar jawaban seorang wanita dari sana.
“Dengan Lucy-nya ada? ini Willi”, jawab saya lengkap.
Sejenak terdiam dan terdengar, “Iya ini Lucy sendiri dan saya ingat kalo kamu yang nolong saya waktu saya di rumah sakit itu khan?” tanyanya yang terkesan menebak.
“Iya.. ini saya Willi yang waktu itu”, jawab saya.
“Eee.. gimana sekarang kamu, Will?” tanyanya.
“Lagi senggang nich”, jawab saya.
“Kayaknya untuk sekarang ini saya nggak bisa lama-lama ditelepon.. bagaimana kalau malam ini kita ketemu, saya mau traktir kamu makan malem, apa bisa?” sambungnya.
“Iya bisa. Saya nggak ada acara”, jawabku singkat.
“Oke kalo gitu kita ketemu di restaurant Tony’s Romas deket Ratu Plaza aja jam 7 malam ini, Oke? kamu tau khan?” jawabnya menjelaskan.
“Iya saya tau, Oke dech sampe nanti”, jawabku.
Seperti janjiku dengan Lucy, saya datang ke Restaurant Tony’s Romas dan saya tiba 10 menit lebih awal. Dan pilih tempat duduk yang kira-kira saya bisa lihat kalau ada orang yang datang. Tepat jam 19.00, Lucy datang, dan saya sangat terpana dengan pakaiannya yang begitu seksi. Dia mengenakan baju terusan warna merah dengan strip warna biru dengan model tali yang menggantung pada lehernya sehingga tampak dengan jelas punggungnya dan berarti dia tidak memakai BH dan rambutnya yang sepanjang bahu dia ikat ke atas sedang rambut depannya dibuat poni rata dengan alis matanya tapi dengan tekukan ke atas. Dadanya yang lumayan besar dan bulat seakan-akan mau keluar dari baju yang dia pakai. Wow, saya begitu terpana dengan apa yang saya lihat, tapi saya tidak terlalu terpana sebab saya harus memberitahu bahwa saya ada.
Saya mengangkat tangan mengisyaratkan siapa tahu dia melihat. Ternyata ada seorang waiter yang melihat dan sepertinya dia tahu bahwa saya memanggil Lucy, dan waiter itu pun mengatakan sesuatu pada Lucy lalu menunjuk pada arahku.
“Hi.. udah lama?” katanya membuka pembicaraan sambil duduk dan merapikan baju terusannya sepanjang mata kaki.
“Belum”, jawabku singkat.
“Eee.. kamu udah pesen? kalo belum, kamu mau pesen apa?” tanya dia.
“Belum, saya belum pesen apa-apa”,jawabku sambil membuka buku menu.
Setelah kita berdua memesan makanan, dan sambil menunggu makanan kami berbincang-bincang sana-sini dan akhirnya dia menanyakan bahwa mengapa saya ada di rumah sakit saat itu, dan saya jelaskan dan saya katakan pula bahwa papa saya sudah meninggal dan dia tampak kaget dan minta maaf kalau dia membuat saya sedih.
Acara makan malam saya bersama Lucy berlangsung lancar dan kita berdua mau pulang, dia memaksa mengantar saya pulang sebab selain hemat biaya lagipula ternyata rumah Lucy searah dengan saya, dia tinggal di daerah Kelapa Gading dan saya yang menyetir dengan ijin dia terlebih dahulu.
Dalam perjalanan, tanpa saya tanya, dia mengatakan bahwa dia sudah cerai dengan suaminya sejak anaknya berusia 6 bulan dengan alasan mantan suaminya itu punya simpanan. Saat dia menceritakan itu, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan sebab rasanya kalau diterus-teruskan mungkin akan membuat dia sedih dengan pengalaman pahitnya, hingga pada akhirnya mengatakan bahwa sebaiknya tidak perlu diteruskan sebab mungkin akan membuat dia ingat dengan masa lalunya itu tapi dia mengatakan bahwa dia ingin saya tahu dengan siapa yang dia kenal (maksudnya dia sendiri). Dari ceritanya, dapat saya simpulkan bahwa dia wanita karier yang lumayan bagus dengan kariernya.
Setelah dia selesai menceritakan semuanya, kita terdiam sejenak dan hanya tembang-tembang Ebiet G Ade yang kita dengar. Tapi dengan tiba-tiba dan membuat saya kaget, Lucy mendekatkan kepalanya dan menyandar diantara bahu dan ujung jok mobil. Saat itu saya tidak tahu harus bagaimana, jadi saya diam saja. Namun yang menambah kurang konsentrasinya saya dengan jalan adalah, setiap saya mengganti persneling, lengan saya bersentuhan dengan dadanya yang lumayan besar dan ini tidak mengubah cara dia duduk, dia tetap dengan posisinya. Setiap kali bersentuhan saya minta maaf padanya dan hati serta kemaluanku tegang. Rasanya saya teramat salah tingkah sebab selain menggangu pikiran saya, saya pun menikmati apa yang terjadi. Sampai pada akhirnya Lucy memecahkan kesepian pada saat itu dengan mengatakan, “Will, kamu sudah pernah bercinta?” Wah, rasanya seperti disambar geledek dengar pertanyaan Lucy. Setelah terdiam sebentar karena kaget, saya jawab pertanyaannya itu dengan jujur bahwa saya sudah pernah bercinta dan saya jelaskan pula bahwa itu dengan pacar saya. Lalu dia bilang, “Eee.. kayaknya kamu sekarang sudah terangsang ya dengan posisiku kayak gini ini?” sambil tangan kirinya dengan cepat meraba daerah kemaluan saya. Saya benar-benar terhenyak dengan sikap Lucy dan saya biarkan tangan kirinya meraba-raba dengan halusnya kemaluan saya dari celana panjang saya sebab selain inilah yang yang inginkan, saya pun lagi-lagi dalam posisi sulit.
Saya tidak tahu berapa lama dia meraba-raba kemaluan saya hingga pada akhirnya dia membuka reitsleting celana saya dan makin berani sehingga sekarang dia meraba-rabanya di celana dalam saya. Sambil meraba-raba dia bilang (dengan nada nakal dan manja), “Will, punya kamu ini besar ya?! panjang lagi.. dan kayaknya udah pengen maen nich.” Namun saya tidak memberi jawaban sebab selain saya tidak tahu harus menjawab apa, saya merasa sedang terbang.
Dan saya pun tidak tahu pasti berapa lama dia meraba-raba kemaluan saya dari atas celana dalam saya. Hingga pada akhirnya dengan tiba-tiba kepalanya seperti terjatuh ke daerah kemaluan saya dan dia menjilat-jilat celana dalam saya dengan tangan kirinya yang tetap meraba-raba rambut kemaluan saya yang mungkin sebagian keluar dari celana dalam. Saya yakin bahwa celana dalam saya sudah basah dengan air liurnya sebab rasanya sudah agak lama dia jilati. Tidak berapa lama setelah saya berpikir seperti ini, dia membuka celana dalam saya dan langsung menelan semua kemaluan saya. Wah, rasanya benar-benar nikmat dan saya benar-benar harus membagi dua pikiran saya antara kenikmatan yang sedang saya rasakan juga jalanan.
Karena saya pun terangsang dengan kuluman Lucy, dengan berani saya memegang dadanya dan meremas-remas kecil. Walaupun saya tidak melihat, namun saya dapat membayangkan bagaimana rasanya apabila saya menghisapnya. Wah, sulit dikatakan. Hingga pada saatnya, saya mengatakan pada Lucy bahwa saya rasa saya akan klimaks, tapi buru-buru dia menghentikan kulumannya dan mengambil posisi duduk normal. Dan dia bilang bahwa dia pun sudah terangsang dan ingin berhubungan seks. Dia mengajak saya menginap di salah satu hotel. Sebelum mengiyakan ajakan Lucy, saya katakan bahwa saya harus memberitahu sama orang rumah bahwa saya tidak pulang agar mereka tidak perlu menunggu saya.
Setelah semuanya sudah beres, akhirnya mobil yang kita tumpangi saya arahkan ke daerah Sunter, sebab saya tahu bahwa di situ ada hotel, walaupun saya belum pernah menginap di situ. Akhirnya kami tiba di hotel yang saya maksud dan saya beserta Lucy masuk dan mengurus urusan-urusan di Front Office di hotel itu, dan setelah semua selesai dengan biaya yang ditanggung Lucy, kami pun diantar ke kamar yang sudah dipilih dengan Bellboy.
Setelah mengecek sana-sini dalam kamar, akhirnya Bellboy meminta ijin untuk keluar setelah menghidupkan TV dengan Channel MTV. Dan setelah terdengar suara pintu kamar kami ditutup oleh Bellboy, saya dan Lucy dengan cepat saling berpelukan dan berciuman sambil berdiri karena sama-sama sudah tidak bisa menahan gairah seks masing-masing.
Lucy memang kelihatan sudah terangsang berat dan pandai berciuman sebab saya dapat merasakan permainan lidahnya yang sangat Hot. Sambil bermain lidah, tangan Lucy dan tangan saya saling meraba-raba bagian terlarang satu sama lain. Tangan kiri saya tetap memegang bagian belakang kepala Lucy sedang tangan kanan saya mengelus-elus bagian punggung Lucy yang terbuka dan mulus putih tanpa cacat, sesekali meraba ke bagian tekukan bawah payudaranya. Sesekali tercium olehku aroma parfum yang dia gunakan. Sedangkan tangan kiri Lucy menelusup ke bagian belakang celana saya sedang tangan kanannya merabanya dari depan mulai dari kemaluan saya hingga ke daerah pusar.
Lama-kelamaan, tangan saya membuka sebagian baju bagian dadanya sehingga saya dapat memegang dengan jelas bentuk payudaranya. Saya rasakan bahwa besar payudara Lucy terasa mantap dengan posisi jemari saya seperti mau mengambil payudaranya itu. Saya usap, elus dan mainkan puting susunya yang terasa makin lama makin agak keras. Dengan tetap sambil berciuman, memainkan lidah dan saling menggigit bibir bawah atau atas satu sama lainnya. Sedangkan tangan Lucy sedang berusaha membuka celana saya dengan membuka reitsleting celana dan berusaha membuka ikat pinggang saya.
Setelah celana saya dapat dibuka oleh Lucy, dengan sigap dia mengambil kemaluanku yang sudah tegang dari balik celana dalamku lalu memaju-mundurkan tangannya sambil tetap menggenggam kemaluanku. Sambil meraba-raba dan tetap memainkan puting susunya, tangan saya yang lain berusaha untuk membuka kancing yang terletak di leher belakang Lucy. Dan akhirnya saya dapat membuka kancing itu walaupun sedikit sulit sebab hanya dengan satu tangan. Begitu baju terusannya dapat saya buka, dengan otomatis baju terusan itu turun ke lantai sehingga payudara Lucy sekarang sudah tidak tertutupi sesuatu apa pun.
Dengan turunnya baju terusannya ke lantai, saya hentikan ciuman bibir dengan Lucy dan saya langsung mencium bagian dada kiri dan kanan Lucy yang begitu ranum dan kencang seakan-akan masih dalam pertumbuhan. Dalam setiap hisapanku atau permainan lidahku pada puting susunya, Lucy mendesah kenikmatan, “Uuuh.. aaghh.. enakk..” dengan sesekali menambahkannya dengan nama saya dan disertai denga nafas yang memburu. Sedangkan tangannya dengan bergantian tetap memegang kemaluan saya dan mengocoknya.
Setelah saya agak puas dengan payudaranya, jilatan, hisapan dan kecupan kecil saya mengarah ke bawah dan makin ke bawah dengan tetap diiringi desahan Lucy yang saya rasa sudah terangsang karena kenikmatan. Namun tangan saya tetap meraba serta mengelus-elus payudaranya. Hingga pada akhirnya tangan Lucy melepaskan kemaluan saya karena posisi kami yang tidak memungkinkan.
Jilatan dan kecupan kecil pada bagian bawah dada Lucy makin liar dengan makin tidak dapat mengontrol diri saya sendiri dengan gairah seks yang meluap-luap dan dengan sesekali saya membuka mata saya dan melihat bagian tubuh Lucy yang putih bersih serta mulus dan lembut. Saya pun dapat merasakan detak jantungnya yang makin kencang.
Sambil tetap menjilati dan memberi kecupan kecil, tangan saya dua-duanya meraba-raba bagian kemaluannya yang masih tertutup oleh celana dalam yang dia gunakan. Setelah saya meraba-raba dengan halus semua daerah kemaluannya serta bagian pantat Lucy, baru saya ketahui bahwa dia mengenakan celana dalam dengan model tali yang mana lekukan pada daerah lubang analnya berupa tali dan melingkari pinggangnya pun berupa tali yang diikat pada bagian pinggang kiri. Dan ini menambah gairah seks saya yang membludak.
Setelah dengan mudah dapat saya buka celana dalamnya, jilatan juga kecupan kecil, saya lanjutkan pada daerah kemaluannya hingga saya dapat merasakan bahwa saya sedang berada di beberapa centimeter di atas liang kewanitaannya. Daerah yang ditumbuhi oleh rambut-rambut yang tidak terlalu lebat dan terkesan dirawat rapi. Dan saya tetap menikmati dengan makin mendesahnya Lucy dengan apa yang saya lakukan pada tubuhnya.
Tangan saya pun mulai memainkan kemaluannya yang basah, saya meraba kemaluannya dengan jari telunjuk atau jari tengah saya dengan sesekali saya masukkan ke dalam kemaluan Lucy. Sedang jempol saya, saya naik turunkan di daerah antara kemaluannya dengan rambut kemaluannya.
Saya makin menikmati semua ini dengan menyentuh ujung lidah saya pada kemaluannya bagian atas. Tercium pula bau khas dari kemaluan Lucy. “Ughhh, Will.. sayaaang.. kamu pintar sekali, sayang..” rintih Lucy ketika saya menghisap-hisap klitorisnya dan sesekali menjilatnya. “Teruuus.. terus.. sayang.. agh.. ahhhh..” rintihnya sambil memegang kepala saya dengan kedua tangannya dan seakan-akan menekan wajah saya ke dalam kemaluannya. Waktu itu, saya agak sulit bernafas dengan posisi seperti ini, namun saya tetap menjilati dan memainkan klitorisnya.
Agak lama saya memainkan klitorisnya dan sesekali memasukkan satu atau dua jari saya ke dalam kemaluan Lucy. Mulanya yang sudah basah, sekarang hingga kering dan sekarang agak lembab dengan bercampurnya air liur saya. Mungkin karena saya yang terlalu menikmati yang sedang saya lakukan atau mungkin karena dia sudah terangsang, dengan tiba-tiba dari dalam kemaluan Lucy menyembur cairan hangat yang belum pernah saya temui sebelumnya. Dengan menyemburnya cairan itu dari dalam kemaluan Lucy, makin didorongnya kepala saya ke arah kemaluan Lucy dan kali itu saya merasa sulit sekali bernafas namun kejadian itu tidak berlangsung lama sebab setelah itu, Lucy melepaskan kepala saya sehingga saya dapat bernafas kembali. Namun saya tetap menjilati dan menghisapnya yang terasa agak lengket dan sedikit bau amis.
Tak berapa lama setelah cairan itu menyembur, Lucy mengangkat kepala saya, yang maksudnya agar saya berdiri. Saya pun berdiri dan wajah saya dekat dengan wajahnya. Dan Lucy menciumi bibir saya dengan masih adanya sisa cairan yang menempel di bibir dan lidah saya. Ganas sekali dia menciumi saya yang diiringi dengan permainan lidah dan terengah-engah nafasnya.
Setelah puas berciuman, Lucy menghentikannya dan mengatakan, “Will, sekarang gantian.. saya yang mau menikmati tubuh kamu.” Sebelum aba-aba atau jawaban dari saya, Lucy langsung membuka kaos saya dari bawah dan menelusupkan satu tangannya ke atas ke bagian dada saya. Sambil mengelus-elus dada saya, dia bilang bahwa dada saya lapang, tidak seperti suaminya yang seolah-olah mempunyai buah dada. Lucy pun mengatakan bahwa perut saya tidak gendut, seperti peminum minuman keras.
Setelah saya membuka kaos saya sendiri, dengan segera Lucy memulai kecupan kecil di daerah dada saya dan sesekali menjilatinya, sedangkan tangannya menuju pada kemaluan saya dan seperti semula, dia memaju-mundurkan kemaluan saya. “Aaah.. aaah.. enak, Luc”, desahku kenikmatan karena selain dijilati atau dikecup, kemaluanku pun dikocok-kocok dengan pelan-pelan namun pasti. Seperti halnya yang saya lakukan pada tubuh Lucy, Lucy pun menjilati, mengecup dan menghisap semua bagian depan tubuhku dan makin lama makin ke bawah hingga akhirnya pada kemaluanku.
Pada saat di kemaluanku, Lucy langsung mengulumnya seakan-akan mau menelan semua kemaluanku yang kira-kira panjangnya 16-18 centimeter. “Aaagghh.. aah.. eeenak, Luc!” desahku agak keras tidak bisa menahan rasa nikmat yang saya rasakan begitu Lucy memainkan lidahnya di bagian lubang kemaluanku. Tidak bisa saya ungkapkan kenikmatannya dan saya benar-benar menikmati apa yang saya rasakan.
Lama sekali Lucy menghisap, menjilat, mengulum dan memainkan kemaluan saya, dia pun menjilati lubang anal saya. Hingga pada akhirnya terlintas dalam pikiran saya untuk menyelesaikan pemanasan ini dan memulai berhubungan seks.
Seperti halnya yang Lucy lakukan pada saya dengan mengangkat kepala saya dari kemaluannya, begitu pula yang saya lakukan untuk menghentikan kulumannya pada kemaluan saya. Saya angkat kepalanya dan saya dekatkan wajahnya kepada saya lalu menciumnya dengan kecupan-kecupan sesekali menciumnya dengan sedikit memainkan lidah.
Saya pun menuntun Lucy untuk tiduran di kasur dengan posisi telentang. Setelah saya beri ciuman dan sedikit kecupan kecil pada bibirnya, saya memegang kemaluan saya dan mengarahkan pada liang senggamanya. Kedua kakinya yang telah dibuka olehnya membuat saya lebih mudah untuk memasukkan kemaluan saya. Sambil memasukkan kemaluan saya, saya lihat raut wajah Lucy. Dia tampak mengejamkan kedua matanya sambil mendesah, “Ooohh.. eeemhhh..” lalu menahan nafas sejenak, sedangkan kedua tangannya memegang kedua pantat saya lalu mencekeramnya agak keras.
Sambil mengeluarmasukkan kemaluan saya ke kemaluan Lucy, saya menekuk kedua kakinya dengan kedua tangan saya sehingga telapak kaki dan tulang keringnya terangkat. “Uuughh.. esshhh.. aaahh.. eenak.. sayang..” desah Lucy sambil memejamkan matanya. Saya pun mendesah kenikmatan dengan keluar masuknya kemaluan saya di dalam kemaluan Lucy. “Aaahh.. eeessh.. Luss.. eenak..”
Kira-kira kami melakukan posisi itu selama 5 menit, lalu saya angkat kedua kakinya sehingga menghimpit kepalaku dan tetap mengeluarmasukkan kemaluanku. Dan saya tidak tahu berapa lama saya dan Lucy melakukan posisi ini hingga akhirnya Lucy menarik saya untuk mendekatkan kepala saya dengan kepalanya, lalu dia mendekap punggung saya dengan erat bahkan saya merasa sangat keras. Dan mendesah panjang, “Eeenghhh… eeesshhh.. eeenakk..”
Lalu Lucy menghentikan sebentar dan mengeluarkan kemaluan saya dari kemaluannya. Ia lalu menungging dan saya tahu maksudnya dan tanpa disuruh olehnya, saya mengarahkan kemaluan saya untuk kembali menghujam kemaluan Lucy. Sambil memegang kedua belah pantatnya bagian atas, saya tetap mengeluarmasukkan kemaluan saya dan sesekali saya melihat reaksi Lucy yang mengangkat sedikit kepalanya ke atas dan sesekali mengibaskan rambutnya sambil mendesah-desah kenikmatan, “Aaaghh… eeesshh.. terus sayang..”
Rasanya lama sekali melakukan hubungan seks, hingga saya merasa sedikit kelelahan begitu juga Lucy, hingga saya putuskan untuk mempercepat gerakanku. Makin kupercepat kemaluanku di dalam kemaluan Lucy. Dengan makin kupercepat gerakanku, makin terdengar dengan jelas suara gesekan antara kemaluan saya dengan kemaluannya yang telah diulasi oleh cairan dari kemaluan Lucy. Saya pun sesekali memegang payudaranya dengan kadang meremasnya sebab saya rasa payudaranya akan naik turun dan menggantung karena posisinya.
“Aaakhh.. enakk!” desah Lucy sedikit teriak.
“Luc.. saya mau keluar nich.. eeesshh..” desahku pada Lucy.
“Keluarin di dalem aja, Will.. eesshh..” jawabnya sambil mendesah.
Hingga akhirnya saya merasa bahwa saya akan mencapai puncak, saya agak menunduk mengikuti posisi Lucy yang menungging dan saya pegang kedua buah dadanya sambil sedikit meremas keduanya. “Uuugghh.. aaaggh.. eeenak Luss” teriakku agak keras dengan bersamaannya sperma saya yang keluar dan menyembur di dalam kemaluan Lucy.
Setelah saya berdiam sejenak setelah ejakulasi, saya keluarkan kemaluan saya dan saya tuntun tubuh Lucy untuk membalik sehingga kami dapat berpelukan. Sambil saling memeluk, Lucy mengatakan bahwa saya hebat dan dengan ijin saya, dia ingin menceritakan ini pada temannya. Waktu itu, saya katakan bahwa tidak ada masalah andai dia ingin menceritakan ini pada temannya sebab (waktu itu) saya pikir, Lucy tidak akan mengenalkan temannya itu pada saya.
Kami pun hening sejenak sambil tetap saling berpelukan dan tubuh masih dalam keadaan telanjang bulat dan saya pun masih dapat mencium bau parfum yang Lucy gunakan. Dalam keheningan itu, terdengar dengan samar-samar lagu When You Said Nothing At All yang dibawakan oleh Ronan Keating dari pesawat TV yang ada. Kami pun secara bersamaan tersentak dan ingin melihat. Lalu kami saling meregangkan pelukan kami, dan Lucy mengambil remote Tv yang berada di atas meja dekatnya lalu menambah volume suaranya. Setelah itu, Lucy mengajak saya untuk berpelukan lagi, saling mendekap lagi sambil menikmati lagu Ronan Keating tersebut.
Saya lihat jam tangan, jam menunjukan pukul 12.45 dini hari. Dan kami pun tertidur hingga kita berdua bangun bersama-sama sekitar jam 07.00 pagi, karena ada seberkas sinar matahari.
Setelah mandi, akhirnya kita sepakat untuk keluar dari hotel tersebut dan Lucy mengantarkan saya pulang hingga di depan rumah, setelah itu dia akan kembali ke rumahnya hanya untuk mengganti pakaian dan diteruskan ke kantor.
Di dekat rumah, Lucy mengatakan bahwa dia sangat puas dan ingin mengulang kembali apa yang terjadi tadi malam dan dia mengeluarkan sejumlah uang yang saya kira cukup banyak buat saya. Katanya saat itu, “Will.. ini buat kamu.. siapa tau bisa bantu-bantu kamu kalau kamu pengen beli sesuatu..” namun belum selesai penjelasannya, saya jawab bahwa saya tidak mau menerima uang sesen pun dari dia sebab apa-apa yang saya lakukan adalah karena atas dasar suka sama suka dan saya pun mengatakan bahwa saya akan merasa sangat terhina kalau dia tetap memaksa saya untuk menerima uang itu.
Akhirnya dia mengalah dan kita terdiam sejenak dan dia mengambil handphone-nya dan mengatakan bahwa itu adalah pemberian dari dia bukan balasan atas yang saya lakukan, dia pun menjelaskan agar dia dapat menghubungi saya. Setelah saya pikir-pikir sambil dia tetap berharap agar saya menerima itu, akhirnya saya mau juga karena saya pikir handphone ini tidak akan selamanya, saya dapat mengembalikannya suatu saat nanti.
Setelah tiba di rumah, saya pun memohon diri dan sempat memegang tangannya bahwa apa yang dia rasakan antara saya dan dia, mungkin yang saya rasakan pada saat itu.
Hari itu Lucy menelepon saya dua kali lewat handphone-nya, yang pertama mengatakan bahwa dia sudah tiba di rumah dan yang kedua adalah dia sudah berada di kantor.
Sejak itu, Lucy tidak pernah menghubungi saya lagi. Tadinya saya pikir bahwa dia sibuk, dan saya pun sadar dengan posisi saya. Hingga akhirnya saya dihubungi seorang wanita lewat handphone pemberian Lucy. Wanita itu mengatakan bahwa Lucy pernah cerita semuanya tentang hubungan saya dengan Lucy mulai dari mula hingga akhir, dan wanita ini mengatakan bahwa dia ingin mengatakan sesuatu pada saya dan ingin ketemu dengan saya.
Hingga pada akhirnya saya setuju untuk bertemu tanggal 8 Desember di suatu Mall. Dalam pertemuan tersebut, wanita itu yang seumur dengan Lucy yang mengaku sebagai temannya dan mengaku bernama Julliet ini mengatakan bahwa ada pesan dari Lucy untuk mengatakan yang sebenarnya pada saya bahwa Lucy telah bersuami dan sudah 1.5 tahun belum dikarunia anak dan dikatakan bahwa suaminyalah yang tidak mampu berproduksi sebab Lucy secara diam-diam sudah memeriksakan dirinya tanpa sepengatahuan suaminya, dan pesan Lucy yang terakhir adalah dia menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya untuk saya sebab Lucy tidak ingin bertemu dengan saya lagi. Julliet ini pun mengatakan bahwa ia ingin melakukan hal yang sama seperti Lucy namun bukan dengan tujuan untuk memiliki anak sebab ia mengatakan bahwa ia dan suaminya tanpa masalah dalam memproduksi anak, yang jadi masalah adalah suaminya yang setelah selesai hubungan seks, ia selalu langsung meninggalkan Julliet tidur. “Jadi, andai Lucy hamil, ada kemungkinan bahwa itu adalah benih saya”, pikirku.

Thanks

Walk In Interview

Bandung 11 Oktober 2010, 09.15 WIBMini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir hotel P, sebuah hotel berbintang 5 yang terletak di jalan Asia Afrika. Sebagai anak kost yang sehari-hari harus prihatin, sebenarnya apa urusannya saya harus datang ke hotel semewah ini?
Sebelumnya ijinkanlah saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code). Saya kuliah di sebuah fakultas teknik yang sering disebut sebagai fakultas ekonominya teknik, karena banyaknya mata kuliah ekonomi yang bertebaran dalam kurikulumnya, di sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama di kota ini.
Tapi syukurlah beberapa waktu yang lalu saya telah lulus dan diwisuda menjadi seorang Insinyur, but for now, I’m only an unemployment.

That’s why I come to this hotel. Kemarin seseorang yang mengaku bernama Ibu Ratna menelepon dan mengundangku hari ini untuk mengikuti sebuah psikotest dari sebuah perusahaan multinasional yang cukup ternama di Indonesia (dan beberapa waktu yang lalu terkena somasi masyarakat akibat acara promosi sebuah produknya yang agak kelewat batas). Setelah memarkirkan mobil di underground, saya melangkah menuju lobby hotel. Selintas saya melihat pengunjung hotel yang sedang menikmati breakfast (atau lebih tepatnya lunch kali yah?) di coffee shop dan berkeliaran di sekitar lobby. Yah.. dibanding mereka yang berpenampilan santai sih, saya lumayan rapi. Ah cuek sajalah, yang penting PD.
“Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana yah?” tanya saya kepada seorang resepsionis yang bertugas di front office sambil menyebutkan nama perusahaan tersebut.
“Oh.. naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan,” jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun bergegas menuju ruang recruitment. Hmm.. masih sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika saya melirik jam tangan saya baru menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah mengisi daftar hadir dan mengambil formulir data diri, saya menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di pelataran ruangan tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 09.50 WIB ketika seorang wanita mempersilakan para peserta untuk masuk ke ruang tes. Setelah mengambil posisi, saya melihat peserta lainnya. Hmm.. ada beberapa wajah yang saya kenal karena memang teman sekuliah, but now they are my competitor. Di depan ruangan telah berdiri 2 orang wanita yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Mbak Rini dan Mbak Tia. Saya menyebut Mbak karena saya kira mereka tidak terlalu jauh tua dibanding saya, walaupun mereka memperkenalkan diri dengan sebutan Ibu. Keduanya cantik, walaupun dalam perspektif yang berbeda. Mbak Rini berwajah tegas cenderung judes, sangat PD dan terkesan senang mendikte orang lain, sedangkan Mbak Tia terkesan lembut, berhati-hati dan komunikatif. Kalau saya menilainya sebagai wanita yang seharusnya dipacari (Mbak Rini) dan wanita yang seharusnya dinikahi (Mbak Tia). Hahaha.. mungkin agak aneh penilaian saya ini.
Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai. 1 jam 45 menit yang dibutuhkan Mbak Tia untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini, sedangkan Mbak Rini entah menghilang kemana. Tepat jam 11.45 WIB kami diusir ke luar ruangan menikmati coffee break untuk 30 menit kemudian diumumkan orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi interview. Dari 200-an pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan hanya 20 yang dipanggil interview, untuk selanjutnya terserah berapa orang yang akan diterima.
Ternyata nama saya tercantum dalam daftar peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to join an interview. Interview will be done in english, so I have to prepare myself. But it’s only my first experience, so what the hell..! Saya berusaha cuek dan rileks saja menghadapinya, masa bodoh teuing lah kata orang sini.
Sekitar jam 14.45 WIB nama saya disebutkan untuk memasuki ruangan interview. Hhmm.. ternyata yang meng-interview (eh ini bahasa mana yah?) saya adalah Mbak Tia. Setelah memperkenalkan diri, kami terlibat dalam obrolan yang serius namun akrab. Berkali-kali dia membujuk saya untuk mau bergabung pada perusahaan ini pada divisi produksi di pabrik. Saya sih sebenarnya lebih senang bekerja pada shop floor di pabrik daripada harus bekerja di kantor manajemen di belakang meja dan di depan komputer. Tapi permasalahannya adalah bahwa pabrik yang bersangkutan terletak di sebuah kota di pesisir utara pulau Jawa, sebuah kota yang menjadi pintu gerbang Jawa Barat terhadap tetangganya di sebelah timur. Away from home means extra cost for living, am I right? Tidak terasa kami mengobrol semakin akrab. Mbak Tia ternyata benar-benar smart, komunikatif dan mampu membawa suasana bersahabat dalam sebuah perbincangan. Tidak heran ternyata dia adalah alumni fakultas psikologi tahun 1992 pada sebuah perguruan tinggi di selatan Jakarta yang terkenal dengan jaket kuningnya.
“That’s all Ryo, thank you for joining this recruitment. We will contact you in two weeks from now by mail or phone,” kata Mbak Tia mengakhiri pembicaraan.
“The pleasure is mine,” jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.
“Ryo, why do you look so confident today? The others don’t look like you,” tiba-tiba Mbak Tia berbicara lagi kepada saya.
“I just try to be myself, no need to pretend being someone else,” jawab saya sambil bingung, sebenarnya apa yang telah saya lakukan sih sampai dia menilai saya seperti itu?
“Cool, I like your style,” sambung Mbak Tia lagi.
“I like your style too,” jawab saya (pura-pura) cuek.
“Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number?” sambung saya lagi.
Asli sudah cuek sekali, tidak ada malu-malunya lagi.
Baru beberapa saat mengobrol bareng dia, tapi kenapa rasanya saya sudah kenal lama yah? Mbak Tia cuma tersenyum dan memberikan kartu namanya sambil meminta nomor telepon saya juga. Karena saya masih pengangguran dan tidak punya kartu nama, akhirnya dia hanya dapat mencatatnya di kertas note miliknya saja. Dan saya akhirnya langsung pulang.
Bandung, same day at 18.04 WIB
Saya lagi termenung di kamar kost di depan komputer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4. Sialan.. menyerang habis-habisan kok malah kalah yah, pikir saya sambil menatap statistik permainan. Tiba-tiba.. krriinngg, teleponku berbunyi mengagetkanku karena memang dipasang pada volume penuh. Di LCD terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada di memori). Langsung saya jawab,
“Hallo..”
“Hallo.. ini Ryo?” terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
“Iya, ini Ryo,” jawab saya.
Sejenak saya terganggu koneksi telepon yang kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayah sini. Ternyata itu telepon dari Mbak Tia. Dia sih ngakunya cuma iseng saja men-check nomor saya.
Setelah ngobrol sebentar, saya bertanya,
“Mbak, banyak kerjaan tidak?”
“Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah?” jawab Mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.
“Boleh, siapa takut..?” balas saya sambil senyum iseng (untung dia tidak bisa lihat senyum saya).
“tidak kok udah selesai semua, free as a bird,” katanya lagi sambil mengutip sebuah judul lagu The Beatles (atau John Lennon? ah masa bodoh teuing lah).
Akhirnya kami sepakat untuk jalan-jalan (but no business talks allowed, kata Mbak Tia). Waktu menunjukkan pukul 19.15 WIB ketika saya memarkirkan pantat saya di sofa di lobby hotel yang sama. Ah.. masak dalam sehari ke hotel ini sampai 2 kali, pikirku. Baru beberapa saat saya duduk, terlihat sosok Mbak Tia berjalan ke arah resepsionis untuk menitipkan kuncinya dan melihat sekeliling lobby untuk mencariku. Saya cukup melambaikan tangan untuk memberitahukan posisi saya duduk untuk kemudian bangkit berdiri dan berlahan menghampirinya. Kemeja putih berbunga-bunga kecil berwarna ungu terlihat serasi dengan pilihan celana panjangnya yang juga berwarna ungu. Wah.. aliran matching-isme nih, pikirku.
“Hi Mbak, look so nice,” kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang out of mind itu.
“Thanks, you too,” jawabnya lagi sambil tersenyum.
Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kami langsung berangkat. Karena Mbak Tia meminta untuk tidak makan berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan pemandangan kota yang bagus sekali di bilangan Dago Pakar. Kalau sudah malam, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many times I’ve been there, but still never get bored. Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja. Kalau dilihat dari face-nya sih tidak cantik-cantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart. Daripada dengan wanita cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalau diajak ngomong tidak pernah nyambung dan otaknya isinya cuma kosmetik dengan toko baju atau factory outlet saja sih jauh sekali, bagusan Tia kemana-mana. Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.
Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel Mbak di depannya) memesan lasagna, biar tidak terlalu kenyang katanya. Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asyik sekali melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu momen yang bagus sekali saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya sambil berkata, “Lho kok malah tidak makan?” Hhmm.. asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, jadi mungkin inilah yang disebut dengan angle terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu.
“Heh.. kok malah bengong?” Tia membuyarkan lamunan saya seketika.
“Ah tidak kok, cuma lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana?” jawab saya sambil mencoba berbohong.
Kalau dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi tidak enak suasananya.
“Ooohh..” sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak.
Terus terang saya selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha.
Lalu kami terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992. Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan reformasi mahasiswa media 1998 lalu. Dia pernah hampir saja menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang telanjur dihamilinya. Tia menyebutkan itulah resikonya pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah.. manusia, cerita tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.
“That’s why Ryo, ’till now I still can’t trust men,” Tia berkata dengan tatapan kosong ke arah kerlap-kerlip lampu kota Bandung. Dia bilang pria itu seperti kucing, sudah disayang-sayang tetap saja nyolong, hahahaha.. lucu juga istilahnya. Saya cuma bisa membela kaum saya sebisanya. Biar bagaimana pun sepertinya tidak semua cowok itu seperti kucing deh, beberapa diantaranya malah lebih mirip serigala, hahahahaha. Makin lama kami ngobrol, makin banyak sisi-sisi lain yang saya kenal dari seorang Tia. Bahkan sampai sekarang dia masih belum mengerti apa sebenarnya yang ada di otak kekasihnya dahulu saat meninggalkannya, padahal we had a perfect life, katanya. Saya kira anak psikologi tahu semua jawaban tentang problem pikiran dan perasaan manusia, ternyata tidak juga tuh. Dia bilang sih tidak semua dokter bisa menyembuhkan sakitnya sendiri dan tidak semua pilot bisa terbang. Untuk yang terakhir ini dia bisa bikin saya ngakak banget.
“So Ryo, why are you still alone ’till now?” tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan.
Lho kok.. malah ngomongin saya sekarang?
“Ah tidak ada yang mau sama saya, hehehe..” jawab saya sekenanya sambil becanda.
“Bohong banget, mau tinggi-in mutu yah?” todong Tia.
“Hahaha ketahuan deh saya,” jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
“Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu?” katanya tiba-tiba.
“Sok, silakan, mangga..”
Dan mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuma ada di hati, bahkan tidak ada di otak sekalipun. Dia bilang kalau dibalik penampilan saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri. Ah.. saya jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Tia (katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan..!). Dimana sekarang beradanya si “love of my life” itu, beberapa wanita memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat menggantikannya, hehehe.. kok jadi sentimentil begini, ini kan cerita, hahahaha.
Untuk beberapa saat saya terdiam, tidak tahu sebenarnya apa yang saya pikirkan. Apakah pikiran saya lagi ada di masa lalu atau tengah mengagumi sesosok wanita yang duduk tepat di hadapanku. Akhirnya saya hanya melemparkan pandangan menatap gemerlapnya kota Bandung di bawah sana.
“.. and baby I.., I’ve tried to forget you but the light on your eyes still.. shine.. you shine like an angel spirit that won’t let me go..”
Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya..
“Bagus yah Ryo, pemandangannya..” tegur Tia membuyarkan pikiran kosongku.
“Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini,” jawab saya sekenanya, biar tidak dikira melamun.
Malam semakin larut ketika kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami semakin dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di mobil. Bercanda, tertawa-an bareng. Why do I feel that everything seems so right when we’re together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kami kembali menginjakkan kaki di lobby hotel.
“Ryo, mau nemenin ngobrol sebentar tidak?” tanya Tia tiba-tiba.
“Boleh aja, emang belum ngantuk?” tanyaku balik.
“Tidak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur,” katanya memberi reasoning.
Akhirnya saya ikut melangkahkan kaki ke kamar Tia yang terletak di lantai 4. Sebuah kamar standar dengan 2 single bed, TV, kulkas dan peralatan standar layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Good enough, daripada kamar kostku, hehehehe.
“Lha kamu sendiri di sini?” tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
“Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga,” jelasnya.
“Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya.”
Kami memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi sengaja kami balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan Tamblong yang telah temaram dan senyap. Sesekali terlihat mobil melintas dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam. Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang menemani perbincangan kami, menggantikan cahaya lampu yang memang kami padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat dengan Tia, padahal baru beberapa jam kami berkenalan. Ah sekali lagi, mungkin saya terlalu terbawa suasana.
Namun kali ini ternyata Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah seperti Tia yang saya kenal dalam jam-jam terdahulu. Dalam curhatnya, ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain. Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya. Dan kini saya harus menghadapi Tia yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love.. look what you have done to her, bastard..!
Saya bangkit dari duduk dan berjalan perlahan menghampirinya. Saya hanya bisa termangu berdiri di sampingnya dan melihat ke luar untuk menunggunya menyelesaikan kisah-kisah yang menyesakkannya selama berbulan-bulan. Saya mencoba menenangkannya sebisa saya dengan menganalisis kehidupannya dari berbagai perspektif. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ia masih beruntung karena ditunjukkan ketidaksetiaan kekasihnya pada saat mereka belum menikah, karena akan lebih sangat menyakitkan jika semua itu dihadapi justru ketika mereka telah menikah.
Setelah beberapa waktu kami membahasnya, Tia terlihat sudah agak tenang.
“Thanks Ryo, kamu mau jadi tempat sampah Tia,” katanya sambil sedikit tersenyum.
“That what friends are for,” jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe.. pamali tau..!
Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmm.. enak juga duduk posisi seperti ini. Tidak berapa lama kemudian Tia menyusul turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku.
“Kayaknya enak banget lihat gaya kamu,” katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet.
“Ryo, kamu itu aneh yah?” tiba-tiba suara Tia menyentakku.
“Aneh selanjutnya bagaimana maksud loe?” tanya saya asal sambil menirukan sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu.
“Hihihihi..” terdengar Tia cekikikan mendengarnya.
“Ya aneh aja, Tia baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget,” katanya lagi.
“Sampai Tia mau curhat sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal.”
“Sama, aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kami pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah?” jawab saya sambil nyengir.
“Ada-ada aja kamu..” katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku.
Jujur saja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?
Cukup lama kami masing-masing terdiam dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup terdengar dari TV rintihan Sinnead O’Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya:
..I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares to you..
Perlahan saya usap rambutnya dan memberanikan diri untuk mengecup keningnya. Tia mendongakkan kepalanya untuk memandangku. Beberapa saat kami saling berpandangan, ah oase kedamaian dari pancaran matanya inikah yang selama ini saya cari? Mungkinkah saya menemukannya hanya dalam beberapa jam saja setelah sekian lama saya mencarinya entah kemana? How can I be so sure about that? dan sekian banyak pertanyaan lainnya berkecamuk dalam pikiranku melewati detik demi detik kami berpandangan. Yang saya tahu beberapa saat kemudian wajah kami semakin mendekat dan sekilas saya melihat Tia menutup matanya dan pada akhirnya saya kecup lembut bibirnya.
Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah ciuman. Perlahan saya raih pinggang Tia dan mendudukkannya dalam pangkuan. Kini kami semakin dekat karena Tia saya rengkuh dalam pangkuan saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan. Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Tia yang terdengar begitu lembut. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai menurunkan bibir ke arah lehernya. “Ugh..” hanya terdengar lenguhan lembut seorang Tia ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir saya menjelajahi lehernya. Tidak ada perlawanan dari aksi yang saya lakukan. Tia justru makin mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan jenjang. Kedua tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan. Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya perlakukan Tia selembut mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku. “Ryo.. oohh..” lenguh Tia saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemejanya. Ya.. saya memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuan saya kepadanya.
Jilatan-jilatan lembut mulai menjalari dada Tia, seiring meningkatnya hasrat manusiawi dalam diri kami. Dengan sekali gerakan, saya dapat menggendongnya. Kami lanjutkan percumbuan dalam posisi berdiri dengan Tia dalam gendongan. Tangannya mulai meremasi rambutku. Perlahan-lahan kemejanya terjatuh terhempas ke karpet, menyisakan bagian atas tubuh Tia yang tinggal berbalutkan sehelai bra putih. Beberapa saat kami bercumbu dalam posisi ini, sampai akhirnya saya merebahkannya di ranjang. Terdengar suara Donita, presenter MTV Asia, terakhir kali sebelum saya meraih tombol off TV yang terletak di buffet samping ranjang. Kali ini suasana benar-benar senyap, hanya tarikan nafas kami berdua yang masih sibuk bercumbu. Tia mencoba untuk melepaskan satu per satu kancing kemejaku hingga akhirnya ia berhasil melepaskannya, hampir bersamaan saat saya berhasil melepaskan bra-nya. Kami meneruskan pergumulan, namun sebuah perasaan aneh menyusup ke dalam hatiku. She’s different, pikirku. Jujur saja, saya sudah beberapa kali mengalami sexual intercouse, pun dengan orang-orang yang baru saja saya kenal. Namun kali ini terasa berbeda. Ada perasaan lain yang mengiringi nafsu yang bergejolak, sebegitu dahsyatnya sehingga nafsu itu sendiri menjadi tidak berarti lagi keberadaannya. Sayang, yah mungkin inilah yang disebut dengan perasaan sayang itu, sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan keberadaannya. Ini membuatku ingin memperlakukannya seindah dan selembut mungkin. Tia bukan hanya seseorang yang mengisi sebuah babak pelampiasan nafsu manusiawi dalam hidupku. Dia berbeda, she deserves the best!
Terdengar lagi lenguhan Tia saat saya mulai mengulum buah dadanya. Kali ini terdengar lebih keras dari sebelumnya. Mungkin hasrat itu telah memenuhi kepalanya. Jilatan-jilatan diselingi gigitan-gigitan kecil mendarat di sekitar putingnya, berkali-kali membuatnya berjingkat terkejut. Saya meneruskan cumbuan saya ke arah perutnya, hingga pada akhirnya berhasil membebaskan celana panjangnya ke karpet. Sekarang terpampang pemandangan yang tidak mungkin saya lupakan, seorang Tia yang baru saya kenal hari ini, rebah dengan hanya berbalutkan celana dalam. Untuk pertama kalinya saya memandang seorang wanita dalam kondisi seperti ini tidak dengan nafsu yang menguasai. Begitu terasa bagaimana saya memang menyayangi dan menginginkannya. Matanya yang memandang lembut ke arahku, menghadirkan begitu banyak kedamaian, sesuatu yang terus saya cari selama ini dari diri seorang wanita.
Kini saya mengulum pusarnya, seiring lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan saya mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Tia. Terdengar sedikit nada terkejut Tia saat saya mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah kemana. Seiring itupun, saya mulai menurunkan jilatan ke arah selangkangannya. “Ryo.. mau ngapain.. uugghh..” pertanyaan yang coba diajukan Tia tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di organ kewanitaannya. Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang saya usahakan selembut mungkin, hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah justru memicu reaksi Tia semakin terbakar. “Ohh.. Ryoo..” lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.
Hisapan dan jilatan silih berganti saya lakukan dengan penuh kelembutan padanya, hingga pada akhirnya terdengar Tia seperti mendekati puncaknya. “Aaahh..” jeritnya panjang sambil menghentakkan tubuhnya ke atas saat puncak itu datang melandanya, menggulungnya dalam suatu sensasi keindahan yang sangat melenakan dan menghempaskannya ke dalam jurang kenikmatan yang begitu dalam.
Kini saya memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya yang mencengkram seprai di tepian ranjang dengan kencang serta nafasnya yang tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Tia terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya. Saya biarkan Tia meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya untuk menyibukkan diri mencari sebuah benda yang “lubricated with nonoxynol 9, for greater protection” (If you were a great 17tahun2 fan, you should know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said that only bastards always bring this thing around. Yeah.. maybe I’m the one of them).
Tia baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir organ kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya. “Tia, may I..?” bisikku sambil mengecup keningnya. Tia hanya mengedipkan kedua matanya sekali sambil tetap memandangku. That’s enough for me to know the answer of this question. Perlahan-lahan saya tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Terdengar nafas Tia tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili penetrasi yang dilakukanku terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya terbenam utuh. Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua. Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah. Saya masih ingat persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat di sisi tepi ranjang saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami. Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat melingkupi kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan duniawi.
Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada saatnya terdengar Tia mulai mendekati orgasme keduanya. Tangannya merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut dalam gelombang orgasmenya. Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di telinga kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk membantunya mendapatkan puncak kedua kalinya. “Eeegghh.. Ryoo.. aahh..” jerit Tia tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang orgasme keduanya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam jurang kenikmatan yang sangat dalam.
Saya menghentikan pergumulan kami sejenak, memberinya kesempatan untuk kembali mengatur nafasnya seusai melewati puncaknya yang kedua. Saya hanya memberikan senyuman dan kecupan lembut di keningnya saat pada akhirnya Tia mulai membuka matanya.
“You’re so lovely tonight”, bisikku padanya.
“Ryoo.. eh..!” teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua tangannya untuk kemudian mendudukkannya dalam pangkuanku.
Punggungku bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami kembali berciuman. Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan kejantananku pada liang kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman, masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia merasakan bagaimana kejantananku perlahan menikam tubuhnya.
Kali ini kubiarkan Tia memegang kendali. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Tia memompa diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku. Saya hanya membantunya dengan meremas buah pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batangku terasa makin dalam menghujamnya. Ahh.. sungguh suatu pemandangan yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang berguncang-guncang. Ughh.. It’s really a loveable thing to see.
Pemandangan yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang makin erat menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke dalam sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak, menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, saya ras saya akan sampai puncaknya, pikir saya. “Ryoo.. I’m almost there..” bisik Tia lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku. “Yes.. babe, me too..” jawabku sambil mengecup erat bibirnya. Selanjutnya terasa bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku semakin menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal sejengkal dari raihannya. “Aaahh.. Ryoo..” jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya.
Saya masih sempat meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada akhirnya..
“Tiaa.., aku keluaarr..!” teriakku sambil mendekap erat tubuhnya.
Terasa bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar. Untung saya menggunakan kondom, masih sempat diriku berpikir di sela-sela gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi kenikmatan yang sangat dahsyat. Dalam beberapa saat ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian rebah di ranjang.
“Thanks honey, you’re so great..” bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
“Ahh.. Ryo..” lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku.
Bandung, 12 Oktober 2000, 01.42 WIB
Terlihat bagaimana lengangnya perempatan jalan Tamblong yang memotong Jalan Asia Afrika di bawah sana. Hanya traffic light yang mengerjapkan cahaya kuningnya yang menandakan adanya kehidupan di sana. Sesekali melintas mobil angkutan kota yang beroperasi selama 24 jam menuju terminal Kebon Kelapa. Kami hanya duduk menatapnya tanpa banyak berkata-kata. Kugenggam erat Tia dalam pangkuanku, menatap kesunyian tanpa sehelai benangpun yang melekat di tubuh kami. Terkadang kudengus lembut telinga Tia, yang selalu saja diiringi desahan manjanya. Ah.. betapa romantisnya, memandang cahaya lampu lewat tengah malam tanpa selembar busana pun yang melekat.
Tak terasa sudah lebih dari setengah jam kami berdua tertegun memandang jalanan sejak gelombang orgasme tersebut menelan kami berdua dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.
“Ryo, Tia pengen mandi rasanya,” tiba-tiba suara Tia mengejutkanku.
“Ya udah sana mandi,” jawabku.
“Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul,” godaku lagi.
“Huuh.. maunya,” sahut Tia manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
Selanjutnya saya hanya terdiam, melanjutkan lamunanku sendiri. Mengingat betapa beberapa menit yang lalu saya telah melalui sebuah permainan cinta yang sangat indah. Kali ini sungguh berbeda rasanya, lembut dan melenakan. Sungguh jauh lebih indah dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman terdahulu, dengan beberapa wanita yang sempat hadir dalam malam-malamku. Entah mengapa tiba-tiba timbul keinginanku untuk selalu berdekatan dengan Tia. Hanya beberapa menit ia tinggalkan (dan itupun hanya untuk mandi), rasa kehilangan itu sudah hadir dalam benakku.
Tanpa kusadar telah kulangkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk menyusul Tia. Krek.. terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm.. ternyata memang Tia tidak menguncinya, wah bandel juga nih anak, pikirku. Perlahan kubuka pintu untuk kemudian mendapatkan suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari belakang bagaimana Tia tengah menikmati pancuran air dari shower yang membilas lembut tubuhnya. Kaca penutup shower menghalangi pandanganku karena telah tertutup uap dari air hangat yang Tia gunakan. Entah mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.
Perlahan kubuka pintu kaca shower untuk kemudian mendekap tubuh Tia dari belakang. “Hei..!” seru Tia terkejut sesaat menyadari ada orang lain yang berada dalam kotak showernya. “It’s me honey..” kataku menenangkan sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke arah leher belakangnya. “Ughh.. Ryo..” lenguh Tia pendek. Terus kudaratkan ciuman bertubi-tubi ke tubuhnya. Kadang di leher belakangnya, kadang di punggungnya, terkadang pula kulumat bibirnya. Kami berciuman di tengah derasnya pancuran shower yang membasahi tubuh kami. Ingin sekali rasanya kutikamkan kembali kejantananku dari belakang ke dalam liang kewanitaannya, menikmati sensasi bercinta di sebuah shower yang deras menghujani tubuh kami dengan butiran-butiran air.
Setelah kurasa percumbuan kami cukup untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam liang kemaluannya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya menerobos hingga ke pangkal batangku. “Arrgghh..” jerit Tia tertahan ketika ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku. Saya mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Tia membuka kedua kakinya lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang memenuhi kepala dan tubuh kami. Kami bersetubuh di bawah siraman kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti. Terdengar sayup-sayup deru nafas Tia diantara derasnya suara air yang tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya, sambil tentunya terus memompanya dari belakang.
Terus kutikamkan batangku ke dalam liang kemaluannya tiada henti. Menit demi menit berlalu, mengiringi persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya lubang kewanitaan Tia kian menghimpit kejantananku. Tiba-tiba kedua tangan Tia menjangkau tangkai shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu menggairahkan perasaan, “Ryoo.. ahh..” Ternyata Tia kembali meraih orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam kenikmatan yang bergulung-gulung mendera batinnya. Kudekap erat tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat saja menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak. Beberapa saat tetap kudekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Tia mulai dapat menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium lembut bibirnya. “You’re wonderful, Babe,” pujiku saat dia mulai membuka matanya dan memandang ke arahku.
Tia membalikkan tubuhnya dan memelukku erat. Kucium kembali bibir Tia sambil kuangkat tubuhnya meninggalkan kotak shower tempat kami memadu nafsu. Kurebahkan tubuhnya di lantai marmer kamar mandi dengan perlahan. Kembali kuletakkan kejantananku di bibir kewanitaannya seraya perlahan mendorongnya masuk ke dalam. Sejenak kulihat Tia mengigit bibirnya sendiri, seakan tengah menikmati sensasi penetrasi batangku ke dalam liang kemaluannya. Kembali kupompakan kejantananku ke dalam tubuh Tia, membiarkan tungkainya bersandar di pundakku untuk kemudian membuat kami terbang meraih kenikmatan duniawi dengan lembut dan perlahan. Terus kusetubuhi tubuh Tia yang tergolek di lantai, mencoba mengimbangi gerakan pinggulnya yang makin menjepit batangku. “Tia, Ryo mau keluar..” bisikku lirih saat mulai kurasakan sesuatu mendesak keluar dari batang kejantananku, setelah beberapa waktu berlalu. “Yes Ryo, semprotkan ke dadaku,” sahut Tia sambil mengecup perlahan bibirku sejenak.
Terus kupompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak ejakulasiku yang kedua dalam hari ini. Saya mencoba untuk menahannya selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil karena tidak berapa lama kemudian kupastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan bertahan lama lagi. Sempat kuhujamkan beberapa kali lagi kemaluanku dalam liang kewanitaannya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Tia.
“Ahh.. Aku keluaarr..” teriakku parau.
“Yes.. ehhmm..” erang Tia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan rambutnya.
Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme yang sangat dahsyat, dimana Tia ikut membantunya dengan mengurut-urut batang kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya. Kucium bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang baru saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di sampingnya.
Bandung, 12 Oktober 2000, 04.48 WIB
Saya tersadar dari tidur dengan mendadak. Di sampingku tergolek tubuh Tia yang tidur memunggungiku sambil kupeluk dari belakang. Sejenak kucoba mengingat-ingat apa yang baru saja saya alami. Samar-samar saya mulai mengingat bagaimana sekitar satu setengah jam yang lalu kulalui sebuah klimaks yang dahsyat dalam dekapan Tia di lantai kamar mandi. Yah kuingat bagaimana kemudian kami saling membersihkan diri, mengeringkannya untuk kemudian menikmati tidur dalam posisi saling berpelukan.
Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku yang tidak ditutupi selembar kain pun saat kusingkapkan selimut untuk kemudian mencari pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa maroon. Kukecup lembut kening Tia saat telah lengkap saya berpakaian. Terdengar lirih suara Tia saat dia mulai tersadar sedikit demi sedikit dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu?
Jam mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB ketika dengan santai kukendarai mini jeep-ku membelah jalan Asia Afrika yang masih lengang sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang mulai mengudara. Saya memang harus segera pergi dari sisi Tia, setidaknya untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta dengan rombongannya setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan yang tidak lucu jika teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan kami sedang tidur berpelukkan tanpa busana sama sekali.
But no business talks allowed, masih terngiang di telingaku perkataan Tia saat kuajak dirinya melewatkan malamnya menikmati suasana Bandung semalam. Yah.. semoga memang begitu keadaan selanjutnya. Terus terang saya paling tidak mau mencampurkan urusan pekerjaan dengan pribadi. Jika saya ditolak untuk pekerjaan, biarkanlah itu karena memang saya tidak cukup qualified untuk diterima, bukan karena saya telah berani kurang ajar kepada salah seorang pengujinya (itu pun kalau dia anggap bahwa saya kurang ajar, hehehehe..). Di lain pihak jika saya diterima bekerja, biarlah itu karena memang skill dan capability saya memang dibutuhkan oleh perusahaan, bukan karena saya berhasil menjalin suatu hubungan khusus dengan seorang Tia. Meminjam istilah Mbak Sari, mendaki corporate lewat ranjang, hahahaha.
Dalam hati saya masih sedikit terbersit harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Tia mengecup lembut bibirku saat dia melepasku di pintu kamarnya. As I said before, everything seems so right when we’re together. Is she the Miss. Right for me after I’ve been looking for all over places? Why do I feel that she’s the one, eventhough I have known her only by day. Biarlah waktu yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat secara pasti menentukan apa yang akan kami jalani di masa depan, sepasti sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.
Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini.

Thanks